Oleh : M. Rio Alfarabi Alhadar – Mahasiswa PWK Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara.
SUDAH menjadi rahasia umum bahwa kondisi infrastruktur jalan di Kelurahan Jati, Kota Ternate, sangat memprihatinkan. Lubang menganga, permukaan jalan tidak rata, hingga genangan air saat hujan telah menjadi pemandangan sehari-hari. Lebih dari sekadar pemandangan buruk, ini adalah simbol kelalaian dan ketidakpekaan pemerintah terhadap jeritan warga yang sudah bertahun-tahun mengeluhkan hal yang sama.
Berapa kali warga melapor? Berapa kali aduan disampaikan, baik melalui media sosial, lewat kelurahan, hingga langsung ke dinas terkait? Jawabannya selalu sama: janji. Janji perbaikan yang tak kunjung ditepati. Kalaupun ada perbaikan, hanya sebatas tambal sulam yang tidak menyelesaikan akar persoalan. Ini menunjukkan kegagalan sistem birokrasi dalam merespons kebutuhan dasar masyarakat akses jalan yang layak dan aman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kerusakan jalan bukan sekadar gangguan kenyamanan, tapi sudah sampai pada level mengancam keselamatan. Pengendara motor kerap terjatuh karena jalan berlubang. Mobil pribadi dan angkutan umum terpaksa zig-zag untuk menghindarinya. Bahkan, akses ambulans dan pemadam kebakaran bisa terhambat. Semua ini berkonsekuensi langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan ekonomi warga.
Dampaknya tidak berhenti di situ. Distribusi barang menjadi lebih lambat dan mahal karena rusaknya akses. Minat investor pun surut karena buruknya infrastruktur. Warga tidak hanya menderita secara fisik, tapi juga ekonominya tercekik karena kebijakan pembangunan yang tidak berpihak.
Sungguh ironis ketika pemerintah begitu antusias membangun proyek-proyek “pencitraan” seperti taman kota, tugu baru, atau renovasi kantor dinas, namun membiarkan jalan permukiman rakyat rusak berat. Jika alasannya soal anggaran, pertanyaannya: ke mana arah dana hibah, APBD, dan dana infrastruktur kota selama ini? Mengapa tidak dialokasikan secara adil dan tepat sasaran?
Setiap menjelang pemilu atau pilkada, janji-janji perbaikan jalan selalu digaungkan. Tapi seperti yang sudah-sudah, setelah terpilih, janji itu lenyap ditelan waktu. Warga sudah jenuh dengan pola kepemimpinan yang hanya reaktif—bekerja ketika sudah viral, bukan antisipatif dan tanggap sejak awal.
Kami, anak muda Kelurahan Jati yang peduli pada lingkungan, menyuarakan kritik ini bukan karena benci, tapi karena cinta. Kami ingin jalan yang layak. Hanya itu. Hak dasar sebagai warga negara. Jika suara kami terus diabaikan, maka ketidakpercayaan pada pemerintah akan semakin dalam dan menyebar. Jangan tunggu kepekaan itu datang hanya saat masa kampanye. Yang dibutuhkan warga adalah kehadiran nyata, bukan basa-basi politik. (*)