Halmahera Selatan, Nalarsatu.com – Polemik Program Kemensos BPNT periode 2023 hingga pertengahan 2025 kembali mencuat di Halmahera Selatan. Penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Obi menuai keluhan dari sejumlah penerima manfaat. Selain pencairan dana yang tak menentu, bantuan yang diterima pun tidak konsisten, bahkan muncul dugaan penjualan beras bantuan secara ilegal. Pendamping program dan pegawai PT Pos Indonesia setempat saling tuding dan lempar tanggung jawab.
Siti Hi. Soleman, warga Desa Baru, mengaku hanya menerima Rp300 ribu selama dua tahun dari pendamping BPNT, Felista Kokiroba. Ia baru mendapat Rp600 ribu di kantor pos pada Desember 2025. “Di desa lain keluarga saya terima Rp1,2 juta,” kata putrinya, Fatima Kamhois. Saat ditanya, Felista menjawab, “Setiap desa beda-beda.”
Di Desa Laiwui, Sumyati Kader mengaku ATM-nya dipegang pendamping dan ia hanya mengantongi buku tabungan. Bantuan pun diterima tiga kali dengan nominal bervariasi: Rp400 ribu, Rp300 ribu, dan Rp300 ribu. “Kami tidak pernah tahu berapa hak kami sebenarnya,” ujarnya Senin (30/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga Desa Buton, Wabinci La Abuta, mengungkap bahwa sejak menyerahkan KTP dan foto pada 2023, bantuan baru cair setahun kemudian. Putrinya, Risna, menambahkan beras bantuan sempat ditampung di rumah warga bernama Mama Dede dan kemudian dijual. “Saya beli 19 karung, tidak tahu itu beras bantuan atau bukan,” katanya Senin (30/6).
Kepala Kantor Pos Obi, Faris Palias, membantah keterlibatan jajarannya dalam distribusi di luar kantor pos. “Kami hanya salurkan di kantor. Kalau tidak diambil, uang dikembalikan ke Pos Ternate,” ujar Faris pada Nalarsatu.com Senin (30/7).
Namun, pengakuan Syahbudin, staf Pos, justru berbeda. Ia mengaku sering turun langsung bersama pendamping membagikan bantuan. Bahkan, ia mengakui penjualan beras dilakukan untuk menutup utang operasional kepada vendor.
“beras dijual untuk ganti uang saya dan uang felista, sampai saat ini vendor Mohdar, pakai uang pribadi saya Rp8 juta belum diganti,” ujar Syahbudin pada Nalarsatu.com Selasa (1/7).
Vendor dari PT Bonceng, Mohdar, juga membenarkan praktik tersebut. Ia mengaku pernah meminjam dana dan menutupinya dengan menjual beras bantuan. “Masalah sudah selesai, utang lunas. Sudah disepakati bersama antara saya, pendamping, dan pegawai pos,” ujar Mohdar Jumat (3/7).
Pendamping program, Felista Kokiroba, membantah tudingan bahwa ia menyalurkan bantuan secara diam-diam. Ia menyebut seluruh penyaluran diambil di kantor pos, dan jika ada lansia atau penerima yang tidak bisa datang, barulah dibantu antar. “Kami selalu libatkan perangkat desa,” katanya (3/7).
Sekretaris Desa Buton, Usman, menguatkan klaim Felista. Ia mengaku menerima daftar nama penerima dari Felista dan bertugas mengarahkan warga ke kantor pos. Ia juga menyebut hanya sekali bantuan dialihkan Kepala Desa Buton, Amir Lasiti, yang lalu menugaskan kaur untuk membantu distribusi.
Soal penerima BPNT yang menggunakan Kartu dan buku tabungan, Usman mengaku turut dipercaya menyalurkan sekitar 14 penerima pada 2023-2024, dan 9 penerima pada 2025.
“Tanggal 29 Juni kemarin, saya terima uang dari Felista dan saya yang bagikan. Ada potongan administrasi Rp10 ribu per penerima dan saya salurkan Rp590 ribu,” ujar Usman pada Nalarsatu.com Jumat (4/7).
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Halmahera Selatan, Sofyan Tomadehe, memilih bungkam. Ketika dikonfirmasi via WhatsApp, ia hanya membalas, “Konfirmasi di Kabid sudah ya?” dan ketika ditanya soal dugaan penjualan beras, ia menjawab singkat, “Kapan dong jual beras? Kase masuk bukti.”
Minimnya respons dari Dinas Sosial memperkuat dugaan lemahnya pengawasan dalam distribusi bantuan sosial. Meski warga telah memberikan informasi soal lokasi penampungan beras dan praktik yang mencurigakan, belum ada tindakan tegas dari aparat.
“Padahal, program ini dirancang untuk menekan angka kemiskinan ekstrem di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Jika penyalurannya bermasalah, maka warga yang paling rentan justru makin terpinggirkan.”