Oleh : Alfakhdi R. Bailusy – Anggota Forum Insan Cendikia (FIC) dan Mahasiswa PWK UNUTARA
SUATU malam di sebuah kafe, lima orang duduk mengelilingi satu meja. Diantara mereka tidak ada percakapan yang hidup, hanya cahaya dari layar ponsel yang memantul diwajah masing-masing. Jari mereka sibuk mengusap layar, senyum kadang muncul bukan karena lawan bicara yang didepanya, melainkan dari pesan yang muncul dilayar. Pemandangan seperti ini bukanlah hal lasing. Kita hidup ditengah masyarakat yang konon terkoneksi, namun semakin kehilangan keintiman.
Teknologi digital telah menjanjikan keterhubungan tanpa batas, tapi nyatanya banyak dari kita justru merasa semakin sendiri. Inilaha wajah wajah baru dari manusia digital: dekat secara sinyal, jauh secara social.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena keterasingan social di tengah maraknya teknologi bukan sekedar kesan personal, melainkan gejala kolektif yang kini menjadi perhatian sosiologi, psikologi, hingga pendidik. Sebuah studi oleh Harvard pada tahun 2021 menemukan bahwa kesepian telah menjadi epidemi tersendiri, bahkan dika[langan muda yang secara teknologi paling terhubung. Ironisnya, platform yang awalnya dirancang untuk mempererat hubungan justru menciptakan interaksi instan yang menggerus kedalaman komunikasi. Percakapan yang dulunya terjadi didalam ruangan nyata kini tergantikan oleh notifikasi dan balasan singkat yang takselalu hadirkan makna. Interaksi digital telah melahirkan ilusi kebersamaan, sementara ruang social yang sejati kian memudar.
Kecanduan layar tidak hanya mempengaruhi durasi waktu yang kita habiskan didunia digital, tetapi juga membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia nyata. Dalam jangka panjang, keterpapaan berlebihan pada teknologi telah menumpulkan sensitivitas social. Kemampuan untuk membaca ekspresi wajah, memahami emosi, dan merespon secara empatik perlahan memudar dan tergantikan oleh emoji dan stiker. Diruang keluarga, kehadiran fisik tidak lagi menjadi keintiman, banyak orang tua dan anak hidup berdampingan dalam diam. Masing-masing tenggelam dalam layar masing-masing. Di ruang kelas, siswa yang terbiasa dengan distraksi digital cendrung kehilangan fokus, dan guru menghadapi tantangan baru untuk menciptakan perhatianyang dulu hadir secara alami. Dampak ini bersifat struktural menyenth ranah psikologis, budaya, hingga insitusi pendidikan dan social.
Fenomena ini tidak lagi abstark; ia nyata di depan mata kita. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di Indonesia mulai melaporkan penurunan kemampuan komunikasi lisan dan kerja kelompok di kalangan siswa. Dilingkungan perkotaan, anak-anak lebih akrab dengan layat ponsel ketimbang permainan tradisional atau obrolan dengan teman sebaya. Tak jarang pula kita menyaksikan pasangan mudayang sibuk dengan media sosialnya masing-masing saat berkencan di kafe, seolah layar menjadi perantara yang tidak lagi bias dilepas.dinegara negara seperti jepang dan Korea selatan, muncul istilah seperi hikikomori dan digital detox retreat yang menandakan perlunya menyembuhkan manusia dari keterasingan ekstrim akibat paparan digital yang ekstrim. Semua ini menggambarkan bagaimana konektivitas digital, jika tidak diiringi kesadaran sosial, bisa menjauhkan manusia dari esensi kemanusiaan sendiri: relasi yang hangat, langsung, dan bermakna.
Untuk mengatasi paradoks “Manusia digital: dekat secara sinyal, jauh secara social”. Kita perlu membangun kesadaran baru dalam menggunakan teknologi. Kesadaran digital atau digital mindfullnes mengajarkan ita untuk tidak sekedar online, tetapi benar-benar hadir dalam relasi. Membatasi waktu penggunaan handphone di momen penting sepertimakan bersama atau kumpul keluarga, bias menjadi langkah awal. Selain itu, penting untuk lebih memprioritaskan interaksi tatap muka daripada interaksi lewat pesan singkat. Jika jarak menjadi kendala video caal bias menjadi alternatif yang lebih mnusiawi dibandingkan teks. Dalam bersosial media kita juga perlu lebih reflektif: berbagi hal yang otentik dan membangun, bukan hanya untuk pencitraan. Menumbuhakn empati digital dapat mengidupkan kembali kehangatan dalam komunikasi daring.
Keterlibatan aktif dalam komunitas nyata serta pendidikan etika digital sejak dini akan membantu menyeimbangkan kehidupan virtual dam social. Dengan langkah kecil yang konsisten, kita bisa menjadikan teknologi sebagai jembatan yang memperkuat hubungan antaramanusia, bukan malah menjauhkan. (*)