Oleh : Rafika Lasifun – Anggota Literasi Forum Insan Cendikia (FIC) dan Mahasiswa Biologi Unutara.
PEREMPUAN adalah rumah peradaban sebagai jantung dari ruh segala rumah perempuan tidak semata-mata dilahirkan. Akan tetapi menjadi suatu proses yang menjadi dan tak berakhir. Garis jalan perempuan tentu tak akan ada unjung-nya di manapun ia berdiri menjadi defensisi diri sendiri selalu di gantung dengan starndar produk norma yang ditentukan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lagi- lagi sisitem partiarki yang sudah mendarah daging menjadi luka yang mengangga dan wabah yang memebebani perempuan, terlebih perempuan diperspesikan seabagi manusia kelas dua yang memeliki sifat femenis sebagaimana perempuan yang penurut, sabar, lemah lembut, dan kasih sayang yang besar.
Hal demikian bukanalh sesuatu yang jatuh dari langit bahkan sejak dari kandungan perempuan sudah dibentuk dalam ranah domestik dan berfungsi sebagai reproduksi. Ini di lihat dari bagaimana permpuan yang di pola secara gender dan dari sinilah terjadi ketimpangan antara peran permpuan dan laki-laki di ruang publik Dimana ayah sebagi sebagai pencari nafkah sementara ibu ditempatkan sebagai penjaga rumah, kasur, sumur dan dapur serta terus melahirkan dan mengasuh anak seakan pernikahan adalah penjara penggantungan diri seorang perempuan yang didalamnya ada perbudakan dan tragisnya anak perempuan juga di bentuk dalam satu hal yang sama.
Diskriminasi terhadap perempuan tak luput dari sistem hidup dan budaya dalam keluaraag yang membentuk pola kekuasaan di mana bapak adalah penguasa. Satu dari sejuta anak manusia Yang diajarkan hormat dan patuh menyimpan memar sakit yang paling curang dengan air mata, penulis mengangkat satu kasus teman yang berinsyal SA korban kekerasan seksuala yang bunggkam selama 3 tahaun yang dilakukan berulang-ulang oleh ayahnya walaupun melawan ia tak berdaya sejak berada di bangkuh SMA kelas 2 dari 2022 hingga 2024 yang kemudian memeberanikan diri bersuara tapi malah dibungkam oleh pihak keluaraga ayah, yang kemudian memeilih menyelesaikan secara keluarga karana ayah sebagai kepala keluarga yang menafkahi. Menerimna Dengan hati yang besar “Dimana pun ayah berada semoga mati” sebuah kutukan dengan bahasa airmata yang memintah sembuh.
Faktor bungkamnya selama 3 tahun karna takut, malu dan depresi kekhawatiran tidak ada pria yang dapat menerima perempuan dengan kasusu seperti ini, belum lagi stigama sosial yang menyudutkan permpuan dimana kesucian perempuan di ukur dari selaput tipis yang dijadikan sandar kehormatan perempuan atau bahkan orang-oarng sibuk mencari darah pada perempuan untuk dijadikan standar moral sebagai perempuan sementara laki-laki tidak dengan itu semua.
Bukan menolak kodrat yang menjadi ketentuan perempuan yang tuhan titipkan tapi dengan itu pula sebagai perempuan kami hanya meminta hak yang sama di hargai martabatnya sebagai mahluk tuhan di muka bumi. Sebab kami bukan objek yang terus menyesuaikan pada ketimpangan yang dinormalisasikan. Hal ini menjadi beban trauma yang tak bernurani dan tak berkesudahan atas tubuh perempuan yang tidak bisa dikembalikan seutuhnya.
Hal yang paling mendasar dari keterpurukan atau bungkamanya korban kekerasan seksual adalah ketidak pahaman secara prosedual terkait hak yang sudah di jamin oleh hukum yang Sudah di atur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindakan pidana kekerasan seksual dan UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, Serta Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada pasal 35 menyebutkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak sangksi dapat diperberat menginggat posisi anak sebagai korban yang lebih retan.
Sebagai kelompok yang rentan perempuan dan anak sudah menjadi ketentuan pasti korban yang banyak dirugikan. Maka dari itu jadilah permpuan yang berani melawan atas hal-hal yang tidak berpihak pada permpuan tanpa takut ditinggal sendiri dan menolak patuh pada sistem yang membatasi langkah juang perempuan.
Sementara Di 2025 Maraknya kekerasan seksual di maluku utara baru-baru ini didominasi oleh anak di dawah umur berdasarakan data dari dinas Pemberdayaan Perempuan dan perelinduang Anak (DPT3A) maluku utara tercatat sebanyak 320 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022 dengan angka dominasi anak dibawah umur dengan jumlah korban sebanyak 161 anak angka ini meningkat signifikan pada tahun 2023 menjadi 410 kasus dengan jumlah korban perempuan sebanyak 184 orang dan jumlah korban anak mencapai 273, dan pada tahun 2024 november tercatat 384 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Dan sementara sepanjang januari 2025 hingga junli kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur mencuat di media publik (Malutpost) dimana korban kekerasan seksual tercatat masih dibangku pendidikan SD dan SMP dari 14-15 tahun tragisnya korban kekerasan seksual di buat tercengangg setiap mata pembaca yang ikut merasa hancur, bagai mana tidak? Salah satu kasus yang disoroti terjadi di kepulawan sula (kepsul) pelaku korban kekerasan seksual adalah ayah kandung yang merudak paksa darah dagingnya yang berusia 15 tahun hingga berkali-kali lalu dibungkam nyaris dibunuh jika berteriak.
Di sisih lain juga tepatnya di halmahera selatan seorang siswi 15 tahun dirudak paksa 16 pria dewasa berjamaah hingga hamil bahkan pemerkosan salah satu pelaku berinisial HA sudah berulang-ulang sejak dibangku SD sampai SMP korban melawan namun tak berdaya begini jadinya jika perempuan di pandang sebagai objek seksual maka tidak ada ruang yang betul-betul aman untuk perempuan tumbuh. Sebab siapapun bisah jadi perdator sekalipun orang yang paling kita sayangi. Sementara itu orang yang paling kita percayai adalah orang yang kita sayangi.
Untuk itu perlunya sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagi upaya penyadaran kekerasan seksual yang bukan lagi hal yang tabu di perbincangkan sebagai edukasi terhadap perempuan,anak, keluaraga, dan masyarakat. Dengan mendorong peningkatan kesadaran di pendidkan sebagaiman kasusu kekerasan seksual yang mencuat terhadap anak di bangkuh pendidikan,serta mensosialisasikan untuk berani bersuara sebab pencegahan kekerasan seksual adalah tanggum jawab bersama untuk membangun lingkuangan yang aman, dan sehat tanpa diskriminasi untuk mewujutkan keadilan. (*)