Oleh : M. Asgar Tapalaola – Anggota Forum Insan Cendikia (FIC) dan Mahasiswa PWK Unutara
HAL paling nyaman di ternate memang bahu jalannya yang serba bisa, bisa jadi parkiran, jadi trotoar, meja jualan, lokasi pohon-pohon besar, juga teras-teras pedagang. Demikian permasalahan yang dibiarkan jadi kebiasaan, padahal bentuk nyata dari cacatnya perencanaan si kota rempah.
Jeff speck dengan General Theory of Walkability-nya, menyebutkan bahwa sebuah jalan harus berguna, aman, nyaman, dan menyenangkan, untuk menciptakan lingkungan yang memiliki daya tarik, namun juga mempunyai sifat berkelanjutan. Trotoar sebagai jalur tempuh pejalan kaki yang seharusnya terancang sempurna ini, kini menjadi hak bebas PKL menggelar jualannya, juga pengendara menata manis kendaraannya, belum lagi pepohonan yang memenuhi besar bagian trotoar, mengakibatkan mayoritas pejalan kaki cenderung memilih bahu jalan, yang di anggap lebih menawarkan akses layak, namun tentunya dengan resiko rawan kendaraan lalu lalang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam PUPR No.3/PRT/M/2014 menyebutkan bahwa Lebar minimal sebuah trotoar adalah 1.5 m (kawasan komersial), Kemiringan Maksimal 2%, Material, Permukaan anti-slip, dan Fasilitas Guiding block, ramp, penerangan. Namun pada kenyataannya, aktifitas yang tengah berlangsung hingga detik ini, tidak mencerminkan pengimplementasian yang utuh dari peraturan-peraturan terkait. Ada banyak titik trotoar yang rusak dan tak kunjung menerima perbaiakan, ditambah lagi hal sebelumnya yang disebutkan, jualan dan kendaraan membatasi akses berjalan. Padahal tak estetik sama sekali, jika pejalan kaki tertabrak di badan jalan, yang hanya lima meter dari trotoar. Dan dari banyaknya kegiatan bertumpuk tak seharusnya, sampah menjadi pemanis mereka semua, mengurangi daya tarik trotoar secara paksa.
Tentunya, kekacauan yang disebutkan di atas, menegaskan kurangnya koordinasi yang baik antara pihak PEMKOT, DPRD Kota, Dishub, dan masyarakat, sehingga kendaraan dengan mudah berjejer di trotoar dan bahkan bahu jalan. PKL kian meraja lela, juga kualitas trotoar yang mulai tidak layak termakan usia. Dampak dari ini semua apa? hak seorang pejalan kaki direlakan tanpa syarat untuk oknum-oknum, terkhususnya PKL danParkir liar. Kemana pihak-pihak terkait? Mengapa oknum-oknum ini dapat bertahun-tahun bertahan? Jalan yang mulai tak ramah bagi yang punya hak jalannya, belum lagi jika bicara soal penyandang disabilitas, lansia, juga anak-anak. Bayangkan dulu, seorang kakek berusia 70an tahun harus bersaing dengan kendaraan roda dua dan buah kelapa, sungguh cermin kota beradap. Trotoar Ternate adalah bentuk absurd implementasi perencanaan kota.
Solusi manis yang sekiranya bisa diselenggarakan semua pihak, Pertama Penataan ulang Zonasi PKL dan sejenisnya yang berbasis kebutuhan, dengan penyertaan ahli yang berkompeten dibidangnya, juga regulasi yang disesuaikan dalam kerja nyata di lapangan. Berikan modal dan pelatihan bagi PKL (jika benar di relokasikan) Perketat pengawasan, dan buat jadwal memadai namun teratur untuk menertibkan. Penataan ulang area yang terlanjur ada, semisal rumah/tokonya bertemu langsung dengan trotoar(tanpa jarak)
Kedua Perbaikan fisik trotoar, dan penempatan tempat sampah umum di sepanjang titik yang bisa disesuaikan, guna menambah estetika dari trotoar tersebut, demi kenyamaan dan rasa aman pejalan kaki. Perbaikan merata di semua titik (bukan hanya perbaikan sebagian, pada titik yang dirasa paling sering dilewati orang)
Penempatan tempat sampah umum di sepanjang jalan, dengan jarak masing-masing 50-100 m.
Dan ketiga Meningkatkan ketegasan dan kejujuran dalam mengambil tindakan. Rubah jadwal operasi rutin gabungan (polisi, Satpol PP) agar lebih efisien. Pengawasan teliti bagi penyedia layanan yang harus menyiapkan lahan parkir (toko, PKL dan lain-lain)
Pejalan kaki memilih bahu jalan sebagi trotoar darurat bukanlah tanpa alasan. Trotoar kini bertambah bebannya, sehingga harus menampung jualan, kendaraan, teras rumah, dan pejalan kaki sekaligus. Kesadaran masyarakat juga sepatutnya dijunjung tinggi, berdampingan ia dengan etika. Masyarakat mulai mengalami ciri perkotaan yang individualisme, ditambah implementasi perencanaan yang cacat, membuat semuanya terlalu kompleks untuk diobati setahun-duatahun. Butuh terbuka hati semua pihak, dan tak memikirkan diri sendiri. (*)