Kontroversi Pernyataan Fadli Zon Soal Kasus Pemerkosaan 1998

- Penulis Berita

Rabu, 9 Juli 2025 - 07:14 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Hilda HismiyatiKader KAMMI Wilayah Maluku Utara. 

27 tahun silam, tepatnya 13 Mei 1998 bangsa Indonesia terguncang dengan tragedi kemanusiaan yang mencoreng sejarah. Kerusuhan Mei 1998, Dalam rentang waktu 13 hingga 15 Mei 1998, suasana panas kerusuhan menghantam berbagai kota di Indonesia, termasuk Jakarta, solo, palembang dan beberapa kota lainnya. Ratusan rumah, kantor, pabrik, toko milik warga Tionghoa dijarah, dibakar, dan dihancurkan. Banyak pengusaha saat itu menuliskan “PRIBUMI” di depan toko mereka agar tidak dijarah dan diamuk warga serta puluhan perempuan tionghoa menjadi korban kekerasan seksual dan pemerkosaan.

Dilihat dari laporan Komnas HAM, telah terjadi pemerkosaan di Jakarta dan disekitarnya pada 12 mei sampai dengan 2 Juni 1998 mencapai 152 orang, 20 diantaranya meninggal. Ita Martadinata, adalah salah satu dari penyintas yang tewas saat hendak bersaksi di PBB soal pemerkosaan massal Mei 1998. Hanya 3 hari sebelum keberangkatannya ke New York, Ita ditemukan tewas di kamarnya dengan leher hampir putus dan balok tertancap di an*snya. Kematian ita sekaligus mengugurkan rencana kesaksian di PBB Karena ia merupakan satu-satunya saksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kerusuhan 1998, bukan hanya sekedar letupan amarah rakyat terhadap krisis ekonomi, melainkan cerminan dari akumulasi ketegangan rasial dan ketidakeadilan sosial yang telah lama dibiarkan tumbuh. Seringkali peristiwa ini dihadapkan antara masyarakat Pribumi dan Tionghoa padahal ini merupakan akumulasi dari kemarahan atas kebijakan dan ketidakstabilan politik, hingga saat ini negara bukannya meminta maaf malah menghapus sejarah dari buku sekolah.

Kini muncul pernyataan kontroversial dari seorang Menteri Kebudayaan yakni Fadli Zon yang meragukan pemerkosaan massal pada tahun 1998. Pernyataan tersebut disampaikan politisi Partai Gerindra itu dalam wawancara dengan jurnalis senior IDN Times, Uni Lubis, yang tayang di YouTube pada Rabu, 11 Juni 2025.

Dalam wawancara tersebut Fadli Zon menyatakan, semestinya ada fakta yang jelas mengenai pemerkosaan massal pada Mei 1998, termasuk siapa saja korbannya dan di mana saja kejadian itu terjadi. “Jadi itu harus ada fakta-fakta hukum, ada (bukti) akademik, jadi ada siapa korbannya, di mana tempatnya, mana kejadiannya, itu kan harus ada,” kata Fadli

Mulanya ia menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah bertujuan untuk mengklarifikasi rumor-rumor yang selama ini telah dianggap sebagai fakta sejarah. Politikus Partai Gerindra itu kemudian menjadikan peristiwa pemerkosaan massal sebagai contoh dari rumor yang ingin dia luruskan. Hal ini menuai perdebatan panjang serta membawa luka baru bagi para keluarga korban.

Laporan Tim Gabungan Mencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan 1998 yang mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM, yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan. Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden ke-2 RI, BJ Habibie, dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998. Hal itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.

Saat dunia sedang memperjuangkan keadilan bagi korban justru Fadli Zon yang notabenenya adalah seorang menteri kebudayaan malah menyangkal soal fakta tentang pemerkosaan dalam kerusuhan pada tahun 1998. Sikap yang tidak seharusnya ada pada diri seorang pejabat negara. Alih-alih menyangkal seharusnya ia juga turut membantu mengawal advokasi dan membersamai para korban yang telah berjuang dan bersama-sama memeriksa keseluruhan laporan bukti-bukti pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998.

Pernyataan beliau harus dapat ditarik ulang dan disampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada penyintas dan masyarakat, hal ini sebagai wujud dari tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Artificial Intellegence dan Wajah Baru Dunia yang Mengubah Tatanan Global
Manusia Digital: Dekat Secara Sinyal, Jauh Secara Sosial
Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe
Absensi Negara dan Dominasi Oligarki sebagai Reinkarnasi Politik Dinasti
Praktik Pendidikan dan Kemunduran Karakter
Sofifi dan Harapan Kota Baru Refleksi Awal dari Lapangan
Bahu Jalan Jadi Trotoar, Pemkot Kemana?
Diskriminasi Perempuan dalam Kekerasan Seksual di Maluku Utara
Berita ini 118 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 17:25 WIT

Artificial Intellegence dan Wajah Baru Dunia yang Mengubah Tatanan Global

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:54 WIT

Manusia Digital: Dekat Secara Sinyal, Jauh Secara Sosial

Rabu, 9 Juli 2025 - 09:16 WIT

Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe

Selasa, 8 Juli 2025 - 16:35 WIT

Absensi Negara dan Dominasi Oligarki sebagai Reinkarnasi Politik Dinasti

Selasa, 8 Juli 2025 - 15:23 WIT

Praktik Pendidikan dan Kemunduran Karakter

Minggu, 6 Juli 2025 - 05:49 WIT

Sofifi dan Harapan Kota Baru Refleksi Awal dari Lapangan

Sabtu, 5 Juli 2025 - 04:41 WIT

Bahu Jalan Jadi Trotoar, Pemkot Kemana?

Sabtu, 5 Juli 2025 - 04:08 WIT

Diskriminasi Perempuan dalam Kekerasan Seksual di Maluku Utara

Berita Terbaru

Opini

Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe

Rabu, 9 Jul 2025 - 09:16 WIT