Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe

- Penulis Berita

Rabu, 9 Juli 2025 - 09:16 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Abdulbar MudiKabid PAO HPMPG

PENDIDIKAN di Pulau Gebe hari ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Alih-alih menjadi ruang pembebasan dan kemajuan, sekolah-sekolah di pulau ini justru mengalami Degradasi pengetahuan yang serius. Salah satu penyebab utamanya adalah kuatnya pengaruh lingkungan masyarakat tambang yang lebih fokus pada hasil ekonomi jangka pendek ketimbang membangun generasi masa depan melalui pendidikan.

Masyarakat di sekitar tambang kerap memprioritaskan apa yang mereka anggap sebagai keberhasilan hari ini: upah harian, emas, batu, atau hasil kebun yang bisa dijual cepat. Mereka lupa bahwa di balik kebisingan alat berat dan kilau batu tambang, ada anak-anak yang sedang kehilangan harapan masa depan. Anak cucu yang seharusnya ditanamkan nilai ilmu, justru dibiarkan tumbuh tanpa arah. Mereka menjadi korban dari sistem yang tak peduli pada regenerasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam kacamata sosiologi pendidikan salah satu tokoh asal Prancis, Emile Durkheim (1858-1917) menekankan bahwa pendidikan merupakan sarana pewarisan nilai dan solidaritas sosial. Namun di Pulau Gebe, nilai-nilai pendidikan yang dimaksud tidak disalurkan dengan adil. Guru-guru acapkali pilih kasih saat kegiatan sekolah dan memilih orang-orang yang justru di kalangan keluargannya atau yang ia kenal tampa melihat murid yang lain.

Bahkan, banyak dari tokoh ini menjadikan sekolah sebagai alat kekuasaan keluarga. Fenomena “sekolah keluarga” di Pulau Gebe menunjukkan bagaimana kuasa lokal bercokol di ruang pendidikan. Guru-guru direkrut karena hubungan kekerabatan, bukan karena kompetensi. Anak-anak dari luar lingkaran itu dianggap bukan bagian dari sistem. Inilah yang di sebut oleh Pierre Bourdieu (1930-2002) sebagai kekerasan simbolik yaitu kekuasaan yang bekerja diam-diam melalui sistem pendidikan, namun menindas dan mendiamkan mereka yang tidak punya “modal sosial” seperti nama keluarga atau relasi.

Akibatnya, siswa-siswi yang sebenarnya memiliki potensi, kehilangan motivasi. Mereka melihat bahwa kerja keras dan kecerdasan tidak selalu dihargai. Sebaliknya, mereka yang berasal dari keluarga berpengaruh mendapat perlakuan khusus. Aktivitas siswa selalu diawasi dengan kacamata kuasa: siapa yang dekat dengan pemilik sekolah akan dilindungi, siapa yang bersuara kritis akan dibungkam. Perlahan-lahan, sekolah tak lagi jadi tempat belajar, tapi ruang politik kekuasaan kecil.

Lebih jauh lagi, siswa pun terjebak dalam kebiasaan sosial yang telah mengakar kuat dalam masyarakat di Gebe. Di satu sisi, guru bahkan kepala sekolah bisa menjadi sumber nilai yang baik; namun ketika guru mencampuri urusan kurikulum, penilaian guru, atau bahkan menentukan siapa yang boleh lulus atau tidak, maka pendidikan kehilangan netralitasnya. Inilah yang oleh sosiolog Anthony Giddens (1938) menyebut sebagai strukturasi : bagaimana struktur sosial seperti kepala sekolah, guru dan kuasa lokal secara tidak sadar mengendalikan perilaku individu dan keputusan institusi.

Sebagian besar problem ini muncul dari campur tangan yang terlalu besar dari orang tua siswa seperti guru dalam sekolah, dan bahkan elite lokal terhadap lembaga pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi ruang profesional dan netral, namun kini dibalut oleh ikatan kekeluargaan yang menyesatkan. Orang tua yang memiliki kuasa sering kali ikut campur dalam proses belajar-mengajar, bahkan sampai mengatur siapa guru yang harus dimutasi. Akibatnya, anak-anak melihat bahwa dunia pendidikan bukanlah tempat meritokrasi (berdasarkan usaha), tetapi tempat manipulasi.

Pendidikan di Pulau Gebe tidak akan maju jika masih dikekang oleh relasi kekuasaan yang berwatak kekeluargaan sempit. Sudah waktunya semua pihak guru, orang tua, dan masyarakat tambang merefleksikan kembali arah pendidikan di pulau ini. Kita harus kembali pada hakikat pendidikan seperti yang diajarkan oleh Paulo Freire, (1921-1997) membebaskan, membangun kesadaran kritis, dan menumbuhkan keberanian untuk bertanya, bukan untuk tunduk.

Sekolah bukan milik keluarga, bukan milik tambang tetapi milik semua anak-anak negeri. Jika tidak ada perubahan cara pandang, maka anak-anak Gebe akan terus belajar dalam ketakutan, bukan dalam keberanian. Dan masa depan mereka akan digerus seperti tanah yang setiap hari digali untuk emas, tapi tak pernah diganti dengan ilmu. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Manusia Digital: Dekat Secara Sinyal, Jauh Secara Sosial
Kontroversi Pernyataan Fadli Zon Soal Kasus Pemerkosaan 1998
Absensi Negara dan Dominasi Oligarki sebagai Reinkarnasi Politik Dinasti
Praktik Pendidikan dan Kemunduran Karakter
Sofifi dan Harapan Kota Baru Refleksi Awal dari Lapangan
Bahu Jalan Jadi Trotoar, Pemkot Kemana?
Diskriminasi Perempuan dalam Kekerasan Seksual di Maluku Utara
Taliabu: Antara Kekuasaan yang Lalai dan Rakyat yang Dilupakan
Berita ini 85 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:54 WIT

Manusia Digital: Dekat Secara Sinyal, Jauh Secara Sosial

Rabu, 9 Juli 2025 - 09:16 WIT

Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe

Rabu, 9 Juli 2025 - 07:14 WIT

Kontroversi Pernyataan Fadli Zon Soal Kasus Pemerkosaan 1998

Selasa, 8 Juli 2025 - 15:23 WIT

Praktik Pendidikan dan Kemunduran Karakter

Minggu, 6 Juli 2025 - 05:49 WIT

Sofifi dan Harapan Kota Baru Refleksi Awal dari Lapangan

Sabtu, 5 Juli 2025 - 04:41 WIT

Bahu Jalan Jadi Trotoar, Pemkot Kemana?

Sabtu, 5 Juli 2025 - 04:08 WIT

Diskriminasi Perempuan dalam Kekerasan Seksual di Maluku Utara

Jumat, 4 Juli 2025 - 13:18 WIT

Taliabu: Antara Kekuasaan yang Lalai dan Rakyat yang Dilupakan

Berita Terbaru

Opini

Minimnya Arah Pendidikan di Pulau Gebe

Rabu, 9 Jul 2025 - 09:16 WIT