Halmahera Selatan, Nalarsatu.com — Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Halmahera Selatan, Hastomo B. Tawary, menyoroti serius penanganan sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di wilayahnya. Ia menilai aparat penegak hukum belum menunjukkan komitmen maksimal dalam menuntaskan perkara yang mengundang keprihatinan publik tersebut.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian ialah dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Kecamatan Bacan Timur Tengah. Dari 16 orang yang diduga terlibat, hanya sembilan orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Tujuh lainnya belum dikenakan sanksi hukum, meski korban telah memberikan keterangan dan sebagian pelaku mengakui perbuatannya.
“Ini bukan sekadar kasus hukum, tetapi menyangkut kemanusiaan. Masyarakat Maluku Utara, bahkan secara nasional, memberi perhatian terhadap kasus ini. Aksi-aksi solidaritas dari kelompok masyarakat sipil juga sudah dilakukan. Kalau bukti dan pengakuan sudah ada, apa lagi yang ditunggu?” ujar Hastomo kepada Nalarsatu.com, Kamis (24/4/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hastomo menilai, ketegasan dalam proses hukum sangat penting untuk memberikan rasa keadilan, khususnya bagi korban. Ia pun mengingatkan bahwa lambannya penanganan hanya akan menambah luka dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Selain itu, Hastomo juga mengkritisi proses hukum atas kasus dugaan pelecehan seksual sesama jenis di Kecamatan Obi yang melibatkan seorang guru kesiswaan dan tiga siswa sebagai korban. Laporan kasus ini telah masuk sejak 11 November 2024, namun hingga April 2025, belum ada kejelasan hukum.
“Seharusnya kasus ini bisa diselesaikan paling lambat akhir Desember 2024. Tapi hingga kini tidak ada perkembangan signifikan. Saya mendesak Kapolres Halmahera Selatan untuk mengevaluasi kinerja Kasat Reskrim IPTU Gian C. Jumario Laapen. Bila tidak mampu bekerja secara profesional dan berintegritas, lebih baik digantikan,” tegasnya.
Hastomo yang juga dikenal sebagai praktisi hukum mengingatkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana berat yang diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014).
Menurutnya, pelaku dapat dijerat Pasal 76D jo. Pasal 81 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda maksimal Rp5 miliar. Jika pelaku adalah tenaga pendidik atau memiliki relasi kuasa terhadap korban, maka ancaman pidana dapat diperberat sepertiga dari hukuman pokok.
“Penegakan hukum yang adil dan tegas adalah bentuk perlindungan nyata terhadap anak dan perempuan. Jangan sampai ketidakadilan ini menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus serupa di masa mendatang,” pungkas Hastomo. (red/ir)