Ternate, Nalarsatu.com — Sebanyak 14 warga Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, dipanggil oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Maluku Utara, menyusul aksi protes yang mereka lakukan pada 21 April 2025. Aksi tersebut menuntut kejelasan hak-hak masyarakat terhadap aktivitas perusahaan tambang PT. STS yang beroperasi di wilayah mereka.
Pemanggilan ini didasarkan pada laporan yang diajukan oleh External Officer PT. STS. Perusahaan menuduh warga melakukan tindak pidana seperti membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan, dan perbuatan tidak menyenangkan saat aksi berlangsung.
Menanggapi hal ini, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara, Risman Taha, menyatakan bahwa langkah Polda Maluku Utara merespons laporan perusahaan terkesan berpihak dan tidak memeriksa akar persoalan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sikap Polda Malut sangat janggal. Padahal kita tahu bersama bahwa aksi itu adalah bentuk perjuangan rakyat dalam menuntut haknya. Justru aparat seharusnya hadir sebagai penengah, bukan sebagai pelindung kepentingan korporasi,” ujar Risman dalam pernyataan resminya.
Lebih lanjut, Risman menduga adanya relasi tidak sehat antara institusi kepolisian dan PT. STS. “Jika kesalahan ditimpakan sepenuhnya kepada warga, maka keberpihakan Polda Maluku Utara terhadap perusahaan ini semakin nyata,” tegasnya.
Atas dasar itu, BEM UNUTARA Maluku Utara mendesak agar proses hukum terhadap warga dilakukan secara terbuka dan adil, serta menuntut agar konflik agraria dan lingkungan di Maba Tengah diselesaikan melalui dialog, bukan represi.
Risman juga menyerukan kepada masyarakat Halmahera Timur untuk tetap bersatu dalam memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yang selama ini terabaikan. “Sejarah mencatat bahwa masyarakat Gamrange tidak pernah tunduk oleh penindasan,” tutupnya. (BM/Red)