LABUHA, Nalarsatu.com – Dugaan penyelewengan dalam program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) kembali mencuat di Halmahera Selatan. Kali ini terjadi di Kecamatan Obi Selatan, dengan nilai potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Menyikapi persoalan ini, puluhan massa dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Halmahera Selatan menggelar aksi unjuk rasa di depan Mapolres Halsel, Jumat (21/6).
Massa juga mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kapolres Halmahera Selatan, untuk segera memanggil dan memeriksa Cristovan Loloh, pendamping program BPNT yang disebut-sebut sebagai aktor utama dalam dugaan skema penyaluran fiktif bantuan sosial tersebut. Mereka menyoroti ketidakkonsistenan penanganan kasus, mengingat dugaan serupa yang pernah terjadi di Desa Sum, Kecamatan Obi Timur, serta Kecamatan Obi, di mana ada oknum telah diproses oleh Polres Halmahera Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terkait keseriusan dan keberpihakan aparat dalam menindak pelaku yang merugikan warga miskin dan negara.
“Ini bukan soal salah salur atau kesalahan teknis. Ini skema busuk yang terorganisir! Warga miskin dikorbankan, bantuan negara dijadikan ladang bancakan. Kami minta Kapolres segera tahan Cristovan Loloh!” tegas Sardi A. Hongi, dalam orasinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sugiarto juga mempertanyakan dalih pengembalian dana ke kas negara yang selama ini digunakan sebagai alasan. Menurutnya, jika dana BPNT sudah ditarik tunai oleh pihak pendamping atau petugas Pos, mustahil bisa dikembalikan dengan utuh dan tanpa jejak.
“Kalau uang sudah ditarik, mana bisa dikembalikan begitu saja? Aneh kalau ini terus dibiarkan. Ini akal-akalan,” Ujar Sardi Saat berorasi Jumat (21/6).
Kasus ini mencuat setelah muncul laporan warga dari sejumlah desa di Obi Selatan yang tidak menerima bantuan BPNT sejak awal 2023. Padahal, nama mereka masih aktif dalam daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Kementerian Sosial. Nilainya pun tidak kecil sekitar Rp 2,4 juta per tahun per Kepala Keluarga.
Ketika diminta bukti valid bahwa proses pencairan telah dilakukan dengan benar, Sahbudin hanya mengirim satu foto bukti serah terima, tanpa konteks atau daftar pendukung lainnya. Lebih buruk lagi, ia menyelipkan komentar yang dinilai merendahkan.
Komentar itu memantik kemarahan publik. FPR menilai hal tersebut sebagai bentuk pelecehan verbal terhadap rakyat miskin dan mencerminkan buruknya etika pelayanan publik.
FPR mencium adanya pola korupsi sistematis dalam penyaluran BPNT, di mana pendamping, oknum Pos, dan kemungkinan aktor lain berperan dalam menutup jejak pencairan yang tidak pernah sampai ke tangan warga. Ketiadaan berita acara, dokumentasi pencairan, serta minimnya transparansi memperkuat dugaan tersebut.
“Kalau benar dana dikembalikan ke kas negara, mana buktinya? Mana surat pemberitahuan resmi ke warga? Jangan-jangan uang itu tidak pernah benar-benar dikembalikan,” ujar Sardi.
FPR juga mempertanyakan sikap diam Polres Halsel. Meski nama Cristovan Loloh disebut berkali-kali, hingga kini belum ada panggilan.
“Penegak hukum jangan tunggu amarah rakyat meledak. Kalau pendamping yang nakal terus dilindungi, berarti hukum sedang dilelang di Halmahera Selatan,” tambahnya.
FPR telah secara resmi menyerahkan laporan ke Polres Halsel dan mengancam akan melanjutkan aksi ke Kejaksaan Negeri, Inspektorat Daerah, hingga Polda Maluku Utara jika kasus ini tidak ditangani dengan serius.
“Usut, tangkap, audit semua dana BPNT sejak 2023. Kami curiga ini bukan kasus tunggal. Ini sistem jaringan yang didesain rapi untuk merampok uang rakyat,” tegas Sardi dalam orasinya.
Kepala Dinas Sosial Halmahera Selatan, Saleh, yang dikonfirmasi secara terpisah, menegaskan bahwa tidak ada prosedur yang membolehkan dana tunai BPNT yang sudah ditarik untuk dikembalikan ke kas negara.
“Kalau uang sudah dicairkan dan ditarik dari kas, tidak ada cerita bisa dikembalikan. Kalau ada pendamping yang bilang kembalikan ke kas negara mana buktinya. Harus ditelusuri siapa yang bertanggung jawab,” ujar Sofyan Tomadehe pada Nalarsatu.com