Oleh : Arfandi latif – Anggota Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara dan Mahasiswa Hukum Unkhair Ternate
DALAM lanskap politik Indonesia hari ini, kita menyaksikan gejala yang cukup mencemaskan negara hadir tanpa daya di hadapan oligarki, dan arus kekuasaan politik mengalir dalam darah-darah keluarga sehingga membentuk apa yang disebut sebagai reinkarnasi politik dinasti. Negara tampak absen bukan dalam arti tidak ada secara fisik, tetapi kehilangan fungsinya sebagai pelindung kepentingan rakyat, dan justru melayani kepentingan elite terbatas.
Oligarki bukan sekadar penguasa ekonomi yang mempengaruhi politik, tetapi juga aktor utama master main yang mengendalikan sumber daya negara demi kepentingan golongan tertentu. Mereka menjalin patronase dengan elit partai, mendanai kampanye politik, dan mengatur kebijakan melalui jejaring kekuasaan. Ini adalah bentuk nyata dari apa yang disebut Jeffrey Winters sebagai predatory oligarchy ketika kekuasaan digunakan untuk melanggengkan kekayaan, dan kekayaan digunakan untuk memperkuat kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih berbahaya lagi, oligarki hari ini menjelma dalam format yang semakin diterima: politik dinasti. Anak pejabat menjadi pejabat, ipar menjadi kepala daerah, menantu menjadi anggota DPR. Praktik ini dilegitimasi oleh regulasi yang longgar dan budaya yang permisif. Alih-alih mencegah konsentrasi kekuasaan, sistem justru membuka ruang selebar-lebarnya bagi politik kekerabatan.
Absennya negara juga terlihat dari kegagalannya membangun sistem meritokrasi yang adil. Dalam negara demokratis, kekuasaan seharusnya lahir dari kapasitas dan kepercayaan publik, bukan dari silsilah keluarga. Namun kenyataannya, mesin partai lebih memilih loyalitas keluarga ketimbang kompetensi. Akibatnya, regenerasi politik tersumbat dan rakyat kehilangan alternatif politik yang sejati.
Bahaya utama dari reinkarnasi politik dinasti melalui oligarki adalah pudarnya harapan terhadap demokrasi itu sendiri. Demokrasi, yang sejatinya membuka ruang partisipasi luas, kini menyempit dalam lingkaran eksklusif. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat, tapi juga bentuk pengambilalihan negara oleh segelintir orang.
Dominasi dalam demokrasi Indonesia memang secara formal menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, namun pada praktiknya, proses politik sering dikendalikan oleh oligarki sekelompok kecil pemilik modal yang mendanai partai politik dan mempengaruhi segala kebijakan. Contohnya dalam kontestasi pemilu, atau “hajatan demokrasi” yang sering ditunggu-tunggu, partai politik menggantungkan diri pada donasi besar dari korporasi atau elite bisnis. Setelah terpilih, banyak pejabat publik “membalas” investasi itu lewat kebijakan yang pro-pasar dan pro-investor, namun seringkali mengabaikan lingkungan, petani, dan masyarakat adat.
Di tengah situasi ini, pentingnya kesadaran kelas menjadi mendesak. Bukan ilusi representasi belaka. Salah satu tantangan utama adalah false consciousness kesadaran palsu yang membuat rakyat tetap percaya bahwa mereka diwakili oleh elite politik, padahal yang sejatinya terjadi adalah pelayanan terhadap kelas pemilik modal. Tanpa kesadaran akan struktur penindasan ini, perubahan hanya akan menjadi ilusi.
Perjuangan kelas dalam bentuk gerakan rakyat, advokasi hak-hak minoritas, dan kontrol terhadap kekuasaan adalah jalan terakhir untuk mengakhiri dominasi ini. Sudah saatnya publik lebih peka dan kritis terhadap praktik politik yang mengabdi pada dinasti dan oligarki. Regulasi harus lebih ketat terhadap politik dinasti. Partai politik harus dikembalikan pada fungsinya sebagai ruang kaderisasi bukan klub keluarga elite.
Negara harus kembali hadir, bukan sebagai alat pemuas oligarki, tetapi sebagai pelindung demokrasi yang sejati. (*)