Halsel, Nalarsatu.com – Kepala Desa Anggai, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Kamaruddin Tukang, angkat suara lantang mengecam pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan PT. Rimba Kurnia Alam (RKA) Site Mala-Mala terhadap salah satu warganya, Fiski Adam Tou. Menurut Kamaruddin, tindakan perusahaan tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji sosial yang sejak awal digaungkan kepada masyarakat lingkar tambang.
Fiski, pemuda lokal Desa Anggai, diberhentikan bersama satu rekan kerjanya, Ayu Fitriani Afrizal asal Kota Ternate, pada 14 Juli 2025 oleh manajemen PT. RKA, yang diwakili oleh Kepala Teknik Tambang (KTT) Taufik Rahayadi dan pihak HRD bernama Sunhaji. PHK dilakukan secara mendadak, tanpa penjelasan objektif dan proses yang transparan.
Kamaruddin menyatakan bahwa tidak ada kesalahan berat yang dilakukan Fiski selama bekerja di perusahaan. Bahkan, informasi dari rekan-rekan kerja menyebut bahwa Fiski telah menunjukkan kinerja positif dan sedang diproses untuk menjadi karyawan tetap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya anggap ini pelecehan terhadap komitmen perusahaan. Mereka datang dengan janji akan memberdayakan anak-anak lokal, tapi sekarang justru yang pertama disingkirkan adalah warga kami sendiri. Ini bukan sekadar PHK, ini penindasan,” tegas Kamaruddin kepada media.
Ia menambahkan, sejak awal PT. RKA menjanjikan prioritas bagi tenaga kerja lokal sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Namun realitanya, warga Anggai kerap hanya dijadikan tenaga kerja lapis bawah dan mudah digantikan.
Dugaan kuat, menurut Kamaruddin, pemecatan Fiski berkaitan dengan konflik kepentingan internal perusahaan. Posisi Fiski dan Ayu diduga sengaja dikosongkan untuk memberi ruang bagi kerabat manajemen yang ingin menempati jabatan serupa.
“Saya punya kewajiban moral dan politik untuk membela warga saya. Saya tidak akan tinggal diam. Kalau perlu, kami akan kirim surat resmi ke bupati dan gubernur, serta mengajukan aduan ke Dinas Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Kamaruddin menegaskan bahwa masyarakat Anggai tidak anti-investasi. Mereka membuka diri terhadap kehadiran perusahaan selama itu membawa manfaat nyata bagi rakyat. Namun, ketika hak-hak pekerja dilanggar dan warga lokal disingkirkan tanpa alasan jelas, maka sikap kompromi tidak lagi relevan.
“Kalau mereka anggap tanah ini hanya tempat gali emas lalu rakyatnya tidak dianggap, saya akan berdiri paling depan melawan. Kita bukan rakyat bodoh yang bisa dibohongi dengan seragam dan janji-janji,” tambahnya.
Kades Anggai itu juga menyampaikan akan mendampingi Fiski dan keluarganya untuk menuntut hak secara hukum. Ia mendorong agar Dinas Ketenagakerjaan Halmahera Selatan segera turun tangan dan memeriksa proses PHK tersebut sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021.
“Saya minta pemerintah tidak tinggal diam. Kalau ini dibiarkan, besok lusa akan ada Fiski-Fiski lain yang digilas kepentingan perusahaan. Padahal tambang itu berdiri di atas tanah dan hidup rakyat kami,” tutupnya.
Pernyataan tegas Kamaruddin mendapat dukungan dari warga Anggai dan organisasi buruh seperti Serikat Buruh Garda Nusantara (SBGN) Maluku Utara, yang juga akan mengawal kasus ini hingga ke pengadilan hubungan industrial jika diperlukan.
Kasus ini menjadi sinyal kuat bahwa relasi antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal di Obi masih jauh dari berkeadilan. Kepala Desa Anggai, dengan sikap terbuka namun tegas, kini berdiri sebagai perwakilan suara rakyat lingkar tambang yang menuntut keadilan, perlindungan hak, dan penghormatan atas martabat warga lokal di tengah arus investasi yang kerap tidak berpihak. (Red/Ir)