Ternate, Nalarsatu.com — Ikatan Konseling Maluku Utara (IK-MU) menggelar diskusi terbuka bertema kekerasan seksual yang berlangsung pada Selasa malam di salah satu kafe di Kelurahan Sangaji Barat, Kota Ternate. Kegiatan yang dimulai pukul 20:00 WIT ini dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Ternate, serta perwakilan Himpunan Psikologi Maluku Utara sebagai fasilitator. Para peserta berasal dari kalangan mahasiswa dan pemuda Kota Ternate yang aktif dalam isu sosial dan kepemudaan.
Diskusi ini bertujuan membedah persoalan kekerasan seksual di Maluku Utara, sekaligus mendorong kolaborasi antarsektor dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus yang semakin marak terjadi. Selain itu, forum ini menjadi ruang penting untuk membicarakan peran dan tanggung jawab institusi penegak hukum, khususnya kepolisian, dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.
Namun, agenda yang digagas dengan semangat kolaborasi ini justru diwarnai kekecewaan dari pihak penyelenggara. Ketua Umum IK-MU, Ikhwanul Kiraam J. Saleh, S.Sos., menyampaikan protes keras atas tidak hadirnya perwakilan dari Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara, meski sebelumnya pihaknya telah secara resmi mengirimkan surat undangan kepada institusi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Ikhwanul, surat undangan tersebut telah dikirimkan beberapa hari sebelum pelaksanaan diskusi. Namun hingga hari pelaksanaan, respons yang diberikan hanya berupa permintaan untuk menunggu balasan tanpa kejelasan lanjutan. Ketika forum berlangsung hingga selesai, tidak satu pun perwakilan dari Polda Maluku Utara hadir atau memberikan konfirmasi kehadiran.
“Ini bukan soal formalitas undangan, tetapi soal tanggung jawab moral dan institusional. Diskusi ini membahas hal yang sangat serius yaitu kekerasan seksual yang terus meningkat di Maluku Utara. Kehadiran aparat penegak hukum seharusnya menjadi komitmen bersama, bukan sesuatu yang harus kami tunggu-tunggu tanpa kepastian,” tegas Ikhwanul.
Ia juga menambahkan bahwa ketidakhadiran Polda Maluku Utara justru memperlihatkan sikap abai terhadap ajakan kolaborasi dari masyarakat sipil. Padahal, salah satu tujuan utama forum ini adalah membangun kemitraan antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam upaya mencegah kekerasan seksual dan menguatkan proses penanganan korban.
Kekecewaan ini dinilai wajar mengingat diskusi tersebut juga memberikan sorotan kritis terhadap lemahnya penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual di daerah. IK-MU berharap forum ini bisa menjadi ruang refleksi bersama untuk memperkuat kerja lintas sektor dalam menangani isu yang sangat kompleks dan menyentuh aspek kemanusiaan mendasar.
IK-MU menyayangkan ketidakhadiran Polda Maluku Utara yang dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap inisiatif tulus dari masyarakat untuk membangun komunikasi dan kerja sama. “Kami membuka ruang dialog, bukan menuduh atau menyudutkan. Tetapi ketika ruang itu tidak digubris, publik patut mempertanyakan keberpihakan dan keseriusan institusi dalam melindungi korban dan menindak pelaku,” tambah Ikhwanul.
Kegiatan ini pun ditutup dengan komitmen dari peserta diskusi untuk terus mendorong keterlibatan berbagai pihak, khususnya lembaga penegak hukum, dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual secara adil dan bermartabat. IK-MU menegaskan bahwa perjuangan untuk keadilan bagi korban tidak akan berhenti hanya karena satu pintu ditutup. Sebaliknya, mereka akan terus membuka ruang-ruang lain, membangun solidaritas lintas sektor, dan mendesak aparat agar menjalankan tugasnya secara profesional, transparan, dan berpihak pada korban. (Red/BM)