LABUHA, Nalarsatu.com – Polemik kegiatan retret yang digelar Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Halmahera Selatan terus bergulir. Sorotan kini datang dari praktisi hukum Maluku Utara, Bambang Joisangadji, SH, yang menilai penggunaan dana desa tanpa Musyawarah Desa (Musdes) serta perintah percepatan APBDes perubahan oleh Kadis DPMD merupakan indikasi pelanggaran serius terhadap tata kelola keuangan desa.
Menurut Bambang, penggunaan anggaran untuk kegiatan retret tanpa proses Musdes merupakan pelanggaran terang terhadap Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
“Peraturan sudah jelas, setiap perubahan kegiatan dan penggunaan dana desa wajib dibahas dalam Musyawarah Desa dan ditetapkan dalam Peraturan Desa tentang Perubahan APBDes. Kalau kegiatan retret itu dilaksanakan tanpa Musdes, maka itu tindakan di luar mekanisme hukum dan bisa dikategorikan sebagai penyelewengan,” tegas Bambang kepada Nalarsatu.com, Jumat (31/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia juga menyoroti instruksi Kepala Dinas DPMD Halsel, M. Zaki Abdul Wahab, yang dalam pesan grup WhatsApp meminta seluruh kepala desa mempercepat pengesahan APBDes perubahan menjelang pelaksanaan kegiatan retret.
“Itu bentuk intervensi terhadap otonomi desa. Kepala Dinas tidak boleh mengarahkan isi APBDes, apalagi untuk kepentingan nonprioritas seperti retret. Desa memiliki kewenangan penuh mengatur keuangannya berdasarkan hasil Musdes, bukan perintah dinas,” ujar Bambang.
Lebih lanjut, ia menilai langkah percepatan APBDes di akhir tahun berpotensi menjadi modus pembenaran administratif atas penggunaan dana yang sudah lebih dulu dikeluarkan.
“Ini praktik manipulasi yang berbahaya. Biasanya dana sudah dipakai lebih dulu, baru kemudian dicarikan dasar hukum di atas kertas. Itu sama saja merekayasa dokumen keuangan negara,” ungkapnya.
Bambang menegaskan, jika benar dana kegiatan retret diambil dari pos anggaran yang bukan peruntukannya tanpa dasar hukum, maka perbuatan tersebut bisa dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, karena memenuhi unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menggunakan uang negara.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa naik ke ranah pidana. Karena uang desa adalah bagian dari keuangan negara yang pengelolaannya harus transparan dan akuntabel,” tandasnya.
Ia pun mendesak Kejaksaan Tinggi Maluku Utara agar menjadikan kasus retret ini sebagai atensi khusus, mengingat kegiatan tersebut melibatkan 249 kepala desa dan seluruh camat di 30 kecamatan.
“Kejati harus turun tangan. Jangan sampai pembiaran ini menjadi preseden buruk di akhir tahun anggaran. Jika ada indikasi manipulasi APBDes untuk menutupi kegiatan retret, maka itu bentuk kejahatan keuangan publik yang terstruktur,” pungkas Bambang.







