Kawasi, Nalarsatu.com- Konflik pembangunan bendungan di wilayah Pulau Obi kini memasuki fase yang semakin memanas. Hamid Hasan, salah satu ahli waris yang lahannya terdampak langsung, secara tegas menyebut perusahaan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem, matinya ratusan pohon produktif, serta dugaan praktik pembebasan lahan yang sarat manipulasi dan tidak transparan.
Hamid menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi bukan sekadar persoalan pohon kelapa yang mati, tetapi telah menggerus fondasi ekosistem alami di sekitar lokasi bendungan. Sejak aktivitas perusahaan dimulai, Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan tersebut disebut menyempit drastis, aliran air berubah arah, dan kualitas air yang selama puluhan tahun dimanfaatkan warga berubah total.
“Air di kebun kami berubah keruh dan berbau. Banyak pohon mati dan lahan produktif rusak total. Ini bukan masalah kecil ini kerusakan serius yang merugikan kehidupan masyarakat,” tegas Hamid, Senin (17/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hamid juga menyoroti dugaan permainan oknum tim lapangan (LA) dalam proses pembebasan lahan. Ia mengatakan negosiasi harga dilakukan dengan keluarga ahli waris, namun pelepasan lahan justru diserahkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pemilik sah. Ketika diminta kejelasan mengenai siapa yang menjual lahan, pihak LA disebut saling menghindar dan melempar tanggung jawab kepada pemerintah desa.
“Harga dinegosiasi ke keluarga, tapi lahan dilepas ke orang lain. Ketika kami tanya siapa yang jual, semua tutup mulut dan saling lempar tanggung jawab,” ujarnya.
Lebih jauh, Hamid mengungkap bahwa dugaan pelanggaran perusahaan bukan pertama kali terjadi. Pada 2023, perusahaan disebut masuk ke lahan tanpa konfirmasi kepada ahli waris. Ia bahkan menduga perusahaan sengaja mengalihkan jalur air ke kebun warga sehingga batas-batas lahan masyarakat hilang dan bukti kepemilikan menjadi kabur.
“Air dialihkan ke kebun dan lahan kami sampai batas-batas lahan hilang. Itu cara yang tidak bisa dibenarkan,” tegasnya.
Hamid menilai keluarga ahli waris mengalami kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan, sehingga mendesak adanya penyelesaian yang adil, terbuka, dan bertanggung jawab. Ia pun mendesak pemerintah daerah untuk tidak tinggal diam dan segera turun tangan.
“Kami menuntut tanggung jawab nyata. Perusahaan harus menyelesaikan kerusakan lahan dan lingkungan. Pemerintah juga tidak boleh tinggal diam,” katanya. (red)







