Kawasi, Nalarsatu.com – Ketegangan pecah sejak Sabtu pagi di kawasan Sungai Akelamo, Desa Kawasi, Pulau Obi, setelah sekelompok ahli waris keluarga Hasan memblokir akses menuju lokasi pembangunan bendungan milik Harita Group. Aksi pemalangan dimulai sekitar pukul 10.00 WIT, dipicu ketidakjelasan penyelesaian kerusakan lahan yang sudah mereka tunggu bertahun-tahun.
Keluarga Hasan menegaskan bahwa kebun kelapa, yang selama puluhan tahun menjadi sumber nafkah mereka rusak akibat perubahan aliran sungai yang diduga kuat dipicu aktivitas perusahaan.
Hamid Hasan, salah satu ahli waris, menyampaikan kekesalannya saat diwawancarai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini bukan sekadar tanah. Ini hidup kami. Harita bangun bendung, sungai berubah, kebun kami rusak dan sampai hari ini mereka tidak bertanggung jawab,” ujar Hamid Sabtu (22/11).

Ia menyebut pihak perusahaan telah berulang kali datang membawa janji mediasi, namun tak ada satupun yang berakhir nyata. Bahkan ketika keluarga menanyakan tujuan pengeboran sungai, jawaban yang diterima hanyalah “rahasia”.
“Ternyata rahasianya begini, kebun kami tenggelam, tanah kami diambil, dan kami dibohongi,” ujarnya.
Sekitar pukul 12.27 WIT, sejumlah anggota TNI dan Polri tiba di lokasi. Kedatangan aparat yang semestinya menenangkan situasi justru bersamaan dengan meningkatnya ketegangan di lapangan.
Para ibu-ibu dari keluarga Hasan berdiri di tengah badan jalan, memalang akses keluar-masuk truk pengangkut material proyek.
“Tidak ada material lewat! Bayar dulu hak kami! Ini tanah kami, bukan tanah Harita!” teriak ahli waris ibu junet Sabtu (22/11).
Situasi memanas saat beberapa personel keamanan perusahaan termasuk Koordinator BKO/Supervisor Security berinisial O Alias Okto berada dilokasi dan mencoba membubarkan warga.
Menurut kesaksian ahli waris, Koordinator BKO security tersebut justru memprovokasi situasi dengan bentakan dan teriakan bernada ancaman.
Ibu Junet, ponakan Hamid Hasan, memberikan kesaksian langsung.
“Kami dibentak. Koordinator BKO security inisial O alias Okto teriak,‘tembak-tembak’. Kami jawab: ‘Silakan tembak, kami tidak takut mati. Kami cuma pertahankan harta orang tua kami’,” ungkapnya.

Ia juga meminta aparat negara bersikap netral, dan melindungi kami, kami rakyat biasa jangan halangi kami.
“Kami mohon TNI dan Polisi jangan tekan kami, dan bantu kami. Harita belum jawab hak kami, kenapa kami yang dihadang?” tegasnya.
Beberapa warga menyebut sempat terjadi dorong-mendorong sebelum akhirnya situasi dapat dikendalikan.
Ketika Nalarsatu mencoba meminta klarifikasi langsung terkait dugaan teriakan “tembak” tersebut, Koordinator BKO/Supervisor Security berinisial O Alias (Okto) menghindar dan enggan memberikan komentar.
Okto hanya menjawab singkat: “Tidak ada komentar.”
Ia kemudian mengindar dari awak media tanpa memberi penjelasan tambahan.
Setelah situasi mereda, proses negosiasi antara ahli waris, aparat, dan perwakilan perusahaan berlangsung hingga sekitar 15.20 WIT. Namun, negosiasi tersebut belum menghasilkan keputusan konkret mengenai penyelesaian hak ahli waris.
Dari total 5 hektare lahan keluarga Hasan,2 hektare lebih sudah rusak berat akibat abrasi dan perubahan aliran sungai, 3 hektare lainnya terancam hilang bila proyek terus dilanjutkan tanpa penyelesaian.
“Ini Penyerobotan. Kami Tidak Akan Mundur.”
Hamid Hasan menegaskan bahwa aksi pemalangan akan terus berlanjut.
“Ini sudah penyerobotan tanah warisan. Selama Harita belum bayar kerusakan dan tanaman, kami akan palang terus,” tegasnya.
Perwakilan CSR Harita Group di lapangan menyatakan bahwa pihaknya siap memfasilitasi mediasi.
“Hari Senin kami siap memediasi. Pemerintah desa juga akan kami libatkan,” ujarnya.
Namun keluarga Hasan menegaskan mereka sudah terlalu sering menerima janji tanpa penyelesaian.
Hingga berita ini diturunkan, Harita Group belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden maupun tuntutan ahli waris. (red)







