OBI,Nalarsatu.com – Kawasi, Halmahera Selatan. Di sebuah kampung yang dikepung aktivitas industri raksasa, Jemaat GPM Kawasi justru harus menghadapi kenyataan pahit: ketiadaan air bersih bahkan untuk kebutuhan ibadah. Rumah ibadah yang seharusnya menjadi ruang sakral dan nyaman berubah menjadi tempat di mana warga terpaksa menahan kebutuhan dasar mereka.
Sumur gereja yang selama ini menjadi tumpuan berubah keruh dan berlumpur. Akibatnya, air untuk WC dan sanitasi kebutuhan paling mendasar dalam pelaksanaan ibadah tidak lagi tersedia. Warga jemaat terpaksa turun tangan sendiri, menggali sumur baru secara gotong-royong agar kegiatan ibadah tidak terganggu.
Menurut Edy E. A. Karamaha, situasi ini bukan sekadar masalah teknis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau untuk buang air saja warga harus pulang ke rumah, itu artinya pelayanan dasar benar-benar gagal. Gereja harusnya menjadi rumah yang memuliakan umat, bukan tempat yang memaksa orang menahan kebutuhan paling dasar,” tegasnya.
Di tengah krisis air bersih ini, Jemaat GPM Kawasi justru sedang mempersiapkan diri sebagai tuan rumah tiga agenda akbar Gerejawi tahun 2026:
1. Persidangan Jemaat ke-XXIII,
2. Konferensi Daerah AM GPM Pulau-Pulau Obi, dan
3. Persidangan Klasis Pulau-Pulau Obi.
Dengan tanggung jawab sebesar itu, ketiadaan air bersih bukan hanya memalukan tetapi juga menghambat pelayanan.
Edy mengungkapkan bahwa warga sebenarnya sudah lama menyampaikan aspirasi terkait suplai air bersih kepada pihak perusahaan. Meskipun CSR perusahaan telah melakukan perbaikan dan pemasangan pipa baru, suplai air ke rumah ibadah justru telah terhenti selama berbulan-bulan.
“Perbaikan itu hanya tambal sulam. Tidak menyentuh akar masalah. Apa gunanya pipa baru kalau airnya tidak mengalir?” kata Edy.
Akhirnya, warga jemaat baik laki-laki maupun perempuan mengerjakan sendiri apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan: menggali sumber air baru. Pemandangan warga gereja yang mengangkat cangkul dan sekop itu adalah simbol kuat dari solidaritas, sekaligus simbol kegagalan pihak yang wajib menyediakan layanan dasar.

Edy menegaskan bahwa air bersih bukanlah kemewahan akan tetapi hak untuk hidup.
“Air bersih itu hak. Hak untuk hidup sehat, beribadah dengan layak, dan hidup bermartabat. Kalau kebutuhan sesederhana ini pun tidak dipenuhi, maka ada yang betul-betul salah dalam sistem pelayanan publik dan tanggung jawab sosial perusahaan di Kawasi,” tegasnya Senin (24/11).
Ia mendesak Pemerintah Halmahera Selatan dan PT Harita Group melakukan evaluasi total atas sistem penyediaan air di Kawasi. Menurutnya, selama penanganan hanya bersifat parsial, warga akan terus menjadi korban.
“Warga tidak menuntut lebih. Mereka hanya meminta hak mereka. Jangan biarkan sumur berlumpur ini menjadi simbol kelalaian yang dibiarkan bertahun-tahun,” tutup Edy. (red)







