Oleh : Antin Fajar Ayu
Hari Kartini bukan sekadar tanggal 21 April yang diwarnai kebaya dan lomba puisi. Ia adalah hari yang mengingatkan kita bahwa perempuan juga punya hak untuk berpikir, memilih, dan menentukan jalan hidupnya. Tapi, dari sudut-sudut pelosok Maluku Utara, semangat itu masih terasa jauh. Terlalu banyak perempuan yang belum benar-benar “merdeka”. Hijrah mereka dari ketertindasan menuju kebebasan, dari ketidakberdayaan menuju kekuatan masih tertunda.
Di hari Kartini ini, saya ingin mengajak kita semua untuk berhenti sejenak. Mari lihat realitas perempuan di desa-desa, di gunung, di pesisir, di pulau-pulau kecil yang jarang disebut. Mereka bukan hanya angka statistik. Mereka adalah Kartini masa kini yang masih harus berjuang lebih dari sekadar menulis surat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalau Kartini dulu menulis surat pada sahabat Belandanya, menyuarakan keresahan atas nasib perempuan Jawa, maka hari ini, ribuan Kartini dari Maluku Utara mungkin hanya bisa menyuarakan isi hatinya lewat gumaman pada batu di kebun, pada panci di dapur, atau pada anaknya yang tertidur. Tidak ada pena. Tidak ada surat. Hanya harapan yang diam-diam dipeluk.
Di banyak desa, perempuan masih dibatasi oleh “kodrat” versi sosial. Kalau menikah muda, dianggap wajar. Kalau tidak sekolah karena bantu kerja di kebun, dianggap biasa. Kalau tidak boleh bicara di rapat desa, dianggap norma. Padahal, justru di sanalah ketimpangan itu tumbuh karena kita terlalu sering membenarkan yang tidak adil, lalu menyebutnya budaya.
Pendidikan adalah fondasi emansipasi. Tapi, terlalu banyak anak perempuan Maluku Utara yang pendidikannya berhenti di tengah jalan. Ada yang harus menikah karena desakan keluarga. Ada yang harus berhenti karena biaya. Ada pula yang lulus, tapi tak tahu harus ke mana, karena tidak ada sistem yang memfasilitasi mereka tumbuh.
Padahal, pendidikan bukan cuma soal ijazah. Ia soal membuka ruang berpikir, soal memberi kesempatan bermimpi. Tanpa itu, perempuan hanya jadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Kartini menulis, “Habis gelap, terbitlah terang.” Tapi bagi banyak perempuan saat ini gelap itu masih panjang. Bahkan belum terlihat di ujung mana terang akan muncul.
Tapi kenyataannya, perempuan masih harus membuktikan berkali-kali lebih keras bahwa ia mampu. Sementara laki-laki cukup hadir, maka “layak” memimpin. Di sinilah pentingnya mengubah pola pikir kolektif.
Islam sendiri tidak membatasi peran perempuan. Sayyidah Khadijah adalah pebisnis sukses. Sayyidah Aisyah adalah guru umat. Tapi mengapa di banyak forum dan musyawarah, perempuan hanya duduk di barisan belakang, bahkan kadang tidak dianggap?
Kartini tidak butuh dirayakan. Ia butuh diteruskan. Hari Kartini bukan ajang lomba pakai kebaya atau baca puisi. Hari Kartini adalah peringatan bahwa kesetaraan masih harus diperjuangkan. Bahwa perempuan masih butuh ruang yang aman dan adil. Bahwa perjuangan itu belum selesai.
Peringatan berarti sadar bahwa masih ada luka. Masih ada ketimpangan. Masih ada mimpi yang tertahan. Perempuan Maluku Utara tidak kekurangan semangat. Mereka tangguh. Mereka pekerja keras. Mereka bisa jadi apa pun jika kita sebagai masyarakat membuka jalan dan memberi ruang.
Hijrah perempuan dari keterbatasan menuju keberdayaan tidak akan terjadi jika hanya dinanti. Ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu bukan hanya tugas perempuan. Tapi juga tugas kita semua terutama laki-laki untuk membuka ruang, meletakkan ego, dan membangun keadilan bersama.
Hijrah yang tertunda itu akan terus tertunda jika kita hanya diam. Tapi jika kita belajar dari semangat Kartini, maka satu-satunya jalan adalah bergerak. Bergerak dari tradisi yang mengekang ke budaya yang membebaskan. Dari sistem yang meminggirkan ke struktur yang memuliakan.
Kartini bukan hanya milik Jawa. Kartini juga harus lahir di Timur, di Halmahera, di Obi, di Sula, di Morotai, di Ternate dan di Gane. Ia bisa lahir dalam sosok ibu yang berani menyekolahkan anaknya, dalam gadis yang tetap kuliah meski harus berjalan kaki tiap minggu. Mari kita jadikan 21 April bukan hanya hari mengenang, tapi hari mendorong. Agar hijrah itu tak lagi tertunda. Akhir kata, Tandang ke Gelanggang Walau Seorang.