Oleh: Tendri Rudin –Mahasiswa Fakultas Hukum Ummu
DI tengah gempuran modernisasi dan kemajuan teknologi, kita kerap melupakan satu hal mendasar yang menentukan kualitas suatu bangsa: bagaimana negara itu memperlakukan perempuan dalam hal pendidikan. Dalam masyarakat yang masih menyimpan sisa-sisa patriarki, pendidikan perempuan seringkali menjadi isu pinggiran-diperjuangkan, tetapi tidak diprioritaskan. Padahal, sejarah dan sains sama-sama menunjukkan bahwa perempuan yang terdidik adalah titik awal dari lahirnya peradaban yang adil, sehat, dan berkelanjutan.
Ketimpangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan bukan sekadar angka statistik. Ia adalah refleksi dari cara kita memaknai peran perempuan dalam masyarakat. Ketika seorang anak perempuan dibiarkan putus sekolah karena alasan ekonomi, budaya, atau relasi kuasa, maka sesungguhnya kita sedang memutus rantai pengetahuan yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Seorang perempuan bukan hanya individu, tetapi juga calon ibu, pendidik informal pertama, dan agen transformasi sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari itu, pendidikan perempuan adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang membatasi pilihan hidupnya. Perempuan yang berpendidikan memiliki daya tawar, keberanian untuk menyuarakan pendapat, dan kemampuan untuk menantang struktur yang menindas. Inilah sebabnya mengapa pendidikan perempuan kerap dianggap “mengganggu” tatanan status quo-karena ia melahirkan perempuan-perempuan berpikir kritis yang tidak mudah dibungkam. (*)