Oleh: Sulfan Kiye
DITENGAH derasnya gelombang kapitalisme ekstraktif di Maluku Utara, sebuah ironi besar menganga lebar aparat negara yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru berperan sebagai satpam korporasi tambang. Masyarakat Kecamatan Maba Tengah menyaksikan langsung bagaimana Kapolda Maluku Utara dan Wakapolres Halmahera Timur yang seharusnya menegakkan hukum dan melindungi rakyat justru melindungi praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh PT STS. Lalu dengan tanpa malu menyuruh kami, rakyat kecil, untuk mematuhi UUD 1945. Bukankah ini bentuk omong kosong yang paling telanjang?
Kami tidak berbicara dalam ruang kosong. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bagaimana PT STS melakukan aktivitas brutal yang melanggar hukum, dan bagaimana Kapolda Malut justru melindungi tindakan tersebut. Lebih dari itu, institusi kepolisian diduga sengaja mengadu domba masyarakat adat di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, menciptakan ketegangan horizontal yang berujung pada kriminalisasi terhadap warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang terjadi bukan sekadar konflik sumber daya alam, melainkan konflik antara rakyat dan negara yang sudah dikapling oleh korporasi. Kapolda bukan lagi representasi negara hukum, tapi wajah baru dari penjajahan ekonomi atas nama investasi.
Brimob dan aparat kepolisian, alih-alih menegakkan hukum, justru menjadi alat represi. Mereka melakukan kekerasan, bahkan penembakan terhadap masyarakat adat yang menuntut hak mereka. Di mana keadilan ketika aparat menodongkan senjata kepada warga yang menjaga tanah leluhur?
Perilaku ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tapi penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Jika mereka hidup di zaman para nabi, mungkin mereka sudah menjadi panglima-panglima kerajaan Firaun karena pola kekuasaan yang dipraktikkan begitu kejam, manipulatif, dan haus pengaruh.
Bahkan tanah, tumbuhan, air, dan udara pun seolah tidak lagi bersahabat dengan tindakan seperti itu. Mereka yang melindungi kejahatan dan menjadi wajah kolonialisme baru, sejatinya telah mencemari keberadaan mereka sendiri sebagai aparat negara.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara ikut larut dalam diam. Mereka berkompromi dengan PT STS seolah menjadikan institusi pemerintahan sebagai boneka kekuasaan. Diamnya mereka adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan konstitusi.
Apakah mereka tidak melihat bahwa tanah-tanah adat telah dirampas? Apakah mereka tuli terhadap jeritan masyarakat yang mempertahankan hutan, sungai, dan kehidupan? Atau mereka memang telah kehilangan keberanian untuk berpihak kepada yang benar?
Kapolda dan Wakapolres, melalui tangan hukum, justru sedang melakukan perselingkuhan kekuasaan dengan korporasi. Mereka menciptakan legitimasi bohong melalui dalil hukum yang cacat dan timpang. Dalam berbagai studi kasus, kriminalisasi terhadap masyarakat oleh aparat dan PT STS menunjukkan bahwa mereka tidak lagi layak menempati bangku kekuasaan. Mereka harus dicopot, dan diproses secara hukum.
Jika orang-orang seperti ini dibiarkan hidup bebas dan terus berkuasa, maka yang terjadi adalah perpanjangan umur dari rezim penindasan. Mereka adalah simbol kerusakan struktural yang hari ini mewabah di Maluku Utara, khususnya Halmahera Timur.
Kami masyarakat adat Qimalaha Wayamli menolak tunduk! Kami tidak akan menyerah pada tekanan, intimidasi, atau janji-janji kesejahteraan palsu. Kami tidak akan menjual tanah warisan leluhur demi kekayaan segelintir orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di dusun kami, tetapi tamak terhadap isi perut bumi kami.
Kepada DPRD yang terhormat jika memang masih ada kehormatan itu ingatlah, kalian dipilih untuk memperjuangkan rakyat, bukan menjadi kaki tangan korporasi. Jika kalian diam, maka kalian adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.
Dan kepada perwakilan perusahaan, dengarkan baik-baik, izin yang kalian bawa dari pemerintah bukanlah izin dari kami. Tanpa persetujuan masyarakat adat, kalian tidak punya hak untuk menyentuh sejengkal pun tanah ini!
Tanah adat bukan milik satu orang. Ia adalah warisan leluhur yang harus dijaga untuk anak cucu kami. Kami tidak butuh tambang. Kami tidak butuh janji-janji palsu yang hanya membawa kehancuran ekologis, sosial, dan budaya. Kami butuh keadilan. Kami butuh pengakuan. Kami bersumpah di atas tanah ini:
1. Kami tidak akan membiarkan satu pun alat berat masuk ke tanah adat kami.
2. Kami tidak akan tunduk pada intimidasi atau bujukan apa pun.
3. Kami tidak akan berhenti berjuang sampai tanah kami terbebas dari ancaman pertambangan.
Jika ada yang tetap memaksakan kehendak, maka kami masyarakat adat Qimalaha Wayamli akan berdiri tegak, mempertahankan tanah ini dengan segala cara.
Tanah adat adalah hidup kami. Kami bukan pengemis investasi. Kami bukan budak industri. Kami adalah penjaga hutan, penjaga sungai, dan penjaga kehormatan tanah ini. Dan kami tidak akan membiarkan satu pun kekuasaan menghancurkan semua itu. Hidup masyarakat adat! Hidup Qimalaha Wayamli! Hidup perjuangan kita! (*)