Ternate, Nalarsatu.com – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Kali ini, tindakan kekerasan dan pemerasan dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswi penerima bantuan pendidikan. Najamudin Marsaoly, M.Pd., yang diketahui menjabat sebagai Sekretaris Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di Institut Studi Islam dan Kependidikan (ISDIK) Kie Raha Maluku Utara, diduga melakukan tindakan premanisme terhadap mahasiswi bernama Mirawati Tidore, mahasiswi semester dua Prodi Biologi.
Insiden itu terjadi pada Senin malam, 20 Mei 2025, sekitar pukul 20.00 WIT di kamar kos teman korban yang berlokasi di Kelurahan Toloko, Kecamatan Ternate Utara. Menurut keterangan Mirawati, Najamudin mendatangi tempatnya bersama istrinya, Ria Nhaja, lalu melakukan kekerasan fisik dan pengancaman terhadap dirinya. Dugaan tindakan itu berakar dari persoalan dana beasiswa bidikmisi yang seharusnya menjadi hak penuh mahasiswa, namun justru dikuasai oleh sang dosen.
Mirawati menjelaskan bahwa sejak lama kartu ATM bidikmisi miliknya berada dalam penguasaan Najamudin. Uang dalam rekening itu bahkan telah dipotong sebesar Rp1.600.000. Ini bukan saja bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga tindakan pidana murni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya tidak tahu kenapa Pak Najamudin bisa pegang ATM saya. Saya minta kembali, tapi tidak dikembalikan. Malah saya yang diancam dan dianiaya,” ungkap Mirawati saat diwawancarai wartawan media ini pada Minggu, 1 Juni 2025.
Jika mengacu pada aturan hukum yang berlaku, tindakan tersebut melanggar prinsip dasar dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Namun kenyataannya, hak mahasiswa atas biaya pendidikan justru dirampas oleh oknum pendidik yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjunjung etika dan tanggung jawab moral akademik.
Lebih jauh, dugaan tindakan kekerasan dan ancaman yang dilakukan Najamudin dan istrinya juga dapat dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 335 KUHP mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan, sedangkan Pasal 368 KUHP menyasar pada tindakan pemerasan atau ancaman kekerasan. Jika terbukti, maka apa yang dilakukan oleh Najamudin bukan sekadar pelanggaran etika akademik, tetapi kejahatan pidana yang patut ditindak tegas oleh pihak berwenang.
Tak hanya itu, praktik pemotongan dana beasiswa di kampus ISDIK Kie Raha Maluku Utara ternyata bukan hal baru. Sejumlah mahasiswa mengaku bahwa pemotongan uang bidikmisi bahkan menjadi praktik sistemik. Salah satu mahasiswa ISDIK Kie Raha yang enggan disebut namanya membenarkan adanya kebijakan pemotongan dana beasiswa yang nominalnya bervariasi antara Rp700.000 hingga Rp1.000.000, bahkan lebih.
“Kami angkatan 2021 kena potongan waktu dana cair. Kampus yang potong, katanya untuk keperluan tertentu, tapi tidak jelas,” katanya melalui pesan WhatsApp.
Bukan hanya pemotongan dana beasiswa, kampus juga menerapkan kebijakan denda yang dinilai tidak manusiawi dan irasional. Mahasiswa yang terlambat registrasi akan dikenakan denda sebesar Rp50.000. Kebijakan ini tidak hanya membebani mahasiswa secara ekonomi, tapi juga mencerminkan wajah otoriterisme kampus yang menekan dengan sistem denda dan kontrol yang semena-mena.
“Kami akan disuru bayar 50 rb jika terlambat registrasi. Ini terdegar aneh. Kami hanya inginkan agar kampus tidak menjadi lembaga menakutkan bagi kami karena kebijakan semacam ini.” Pungkasnya (Red/BSM)