LABUHA, Nalarsatu.com – Persidangan pemeriksaan setempat (PS) atas perkara sengketa lahan dengan nomor 40/Pdt.G/2024/PN.Lbh yang digelar Jumat lalu di Pengadilan Negeri Labuha kembali menarik perhatian publik. Dalam kesimpulan akhirnya, kuasa hukum Tergugat XIII dan XIV, Bambang Joisangadji, SH, menegaskan bahwa kliennya, Lukman Parengkuan dan Rival Parengkuan, adalah pemilik sah atas sebagian tanah yang disengketakan. Mereka pun meminta majelis hakim untuk menolak gugatan yang diajukan oleh para penggugat secara keseluruhan.
Pernyataan itu diperkuat melalui kesaksian Ilham Abubakar, mantan kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan, yang mengungkap bahwa Lukman Parengkuan pernah menggugat Pemda atas tanah yang sama dalam perkara nomor 09/Pdt.G/2013/PN.Lbh, dan dimenangkan oleh Lukman. Kala itu, pengadilan memerintahkan agar lahan sengketa dikosongkan.
Dua sertifikat hak milik juga dihadirkan di persidangan: SHM Nomor 949 atas nama Lukman Parengkuan dan SHM Nomor 950 atas nama Rival Parengkuan. “Dengan bukti otentik berupa sertifikat resmi dan putusan pengadilan yang sudah inkracht, maka sudah sepatutnya gugatan para penggugat ditolak,” kata Bambang dalam kesimpulannya Selasa (17/6)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, sengketa ini ternyata tidak berhenti pada persoalan sertifikat. Sebuah kisah lama muncul kembali ke permukaan. Dari pihak keluarga Safrudin Arif, yang sebelumnya juga pernah terlibat dalam gugatan terhadap Pemerintah Daerah pada tahun 2008, mengungkap bahwa lahan di kawasan Pasar Baru Labuha merupakan warisan keluarga mereka sejak lebih dari seratus tahun silam.
“Lahan bagian barat itu dulunya dijual ke Kakek kami oleh J. Deil tahun 1939. Dari arah timur itu alas hak 1960, jadi kakek kami beli dari Calasina Maituma, lengkap dengan bukti surat-surat,” ungkap Safrudin Arif kepada wartawan Nalarsatu.com Rabu (17/6).
Ia menambahkan, lahan tersebut telah dimenangkan dalam gugatan melawan Pemda dan pihak-pihak yang menempati secara tidak sah dalam perkara Nomor 08/PDT.P/2010/PN.LBH.
Yang menjadi kejanggalan, menurut Safrudin, adalah munculnya gugatan baru dari pihak yang belum pernah tercatat memiliki alas hak sah atas lahan tersebut.
“Mereka beli lahan dari orang yang sudah lama lari ke Seram, bahkan kabarnya sudah meninggal. Ibu mereka sendiri, Almarhumah Fatma Alhadar, semasa hidup pun sadar kalah dan tidak pernah ganggu lagi. Kok sekarang anak-anaknya gugat lagi? Ini jadi aneh,” ujarnya.
Menurutnya, munculnya nama Abdurrahman Hamzah sebagai penggugat dalam perkara tahun 2024 ini seolah membuka kembali babak lama yang telah selesai secara hukum. Ia menduga sengketa ini hanya mengulang sejarah yang seharusnya sudah final.
Putusan akhir perkara 40/Pdt.G/2024/PN.Lbh dijadwalkan dan akan dibacakan pada hari Selasa 24 Juni 2025 nanti. Namun di balik proses hukum ini, tampak jelas bahwa sengketa tanah di Labuha bukan sekadar soal sertifikat atau peta batas, melainkan sejarah panjang pertarungan hak kepemilikan, warisan keluarga, dan legitimasi legal di mata hukum.