Ternate, Nalarsatu.com – Proyek raksasa pembangunan Gelanggang Olahraga (GOR) Fagogoru di Desa Nurweda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, kembali menjadi sorotan publik. Proyek yang dikerjakan dengan skema multiyears sejak 2019 hingga 2021 dengan total anggaran Rp79.695.000.000,00, kini diduga mangkrak dan tak kunjung difungsikan.
Pengerjaan GOR Fagogoru dimulai di era pemerintahan Edi Langkara – Rahim Odeyani, dengan pelaksana proyek PT. Hapsari Nusantara Gemilang dan konsultan CV. Rani Engineering Consultant Contractor. Namun sejak awal, perencanaan proyek ini telah diwarnai persoalan. Salah satunya adalah dugaan korupsi pada tahap pembebasan lahan sebesar Rp632 juta, yang sempat ditangani aparat penegak hukum.
Pantauan lapangan menunjukkan proyek belum rampung sebagaimana target. Tribun timur GOR yang seharusnya menjadi daya dukung fasilitas olahraga masyarakat kini hanya menjadi bangunan terbengkalai. Kekecewaan pun meluas di kalangan pegiat olahraga dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang lebih ironis, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah kala itu diduga menyertakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) senilai Rp13 miliar untuk membangun bagian dari GOR tersebut. Dana CSR itu semestinya diperuntukkan untuk kepentingan publik, seperti air bersih, bantuan sosial, pelestarian lingkungan, dan dukungan terhadap rumah ibadah di sekitar kawasan industri.
Tak berhenti di situ, pada tahun anggaran 2022, Pemkab Halteng kembali mengalokasikan anggaran sebesar Rp3,8 miliar untuk pembangunan Sport Center, Rp4,9 miliar untuk Gedung Olahraga, serta Rp30,9 miliar untuk peningkatan fasilitas GOR Fagogoru. Total akumulasi dana dari APBD 2019 hingga 2022 mencapai Rp119,43 miliar, belum termasuk dana CSR sebesar Rp13 miliar dari IWIP.
Namun kenyataan di lapangan tak sebanding dengan besarnya anggaran. Proyek ini diduga tidak dapat difungsikan dan tidak memberi manfaat langsung bagi masyarakat.
Menanggapi temuan ini, Praktisi Hukum Bambang Joisangadji, S.H., menyebut telah terpenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat daerah.
“Kalau proyek tak selesai dan tidak bisa dimanfaatkan, maka ini sudah masuk kategori kerugian keuangan negara. Itu bisa dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Bambang kepada Nalarsatu.com, Jumat (2/8).
Bambang menyoroti keras penggunaan dana CSR yang dialihkan ke proyek pemerintah tanpa transparansi dan tanpa akuntabilitas. Ia menyebut pengalihan tersebut merupakan pelanggaran serius.
“CSR punya peruntukan yang spesifik. Jika digunakan untuk proyek pemerintah tanpa prosedur yang jelas, itu pelanggaran. Bisa kena Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kewenangan, dan jika terbukti ada upaya menyamarkan aliran dana, maka berpotensi masuk ranah tindak pidana pencucian uang,” tegasnya.
Menurut Bambang, penggunaan dana APBD yang terus digelontorkan dari tahun ke tahun untuk proyek bermasalah menunjukkan adanya indikasi persekongkolan dan pembiaran sistemik.
“Jika sejak awal perencanaan sudah bermasalah dan tetap dibiayai, maka ini bukan sekadar kelalaian. Ini kejahatan anggaran. Semua pihak pengguna anggaran, kontraktor, konsultan perencana hingga pengawas harus diperiksa,” tambahnya.
Ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, dan BPK RI segera turun tangan melakukan audit investigatif dan penyelidikan hukum.
“Kalau dana sebesar itu dihamburkan tanpa hasil, itu bukan lagi soal teknis. Itu kejahatan terhadap hak rakyat. Jangan ada impunitas,” tutup Bambang Joisangadji.