HALSEL, Nalarsatu.com – Di tengah sunyi suara keadilan dan gemuruh kekecewaan rakyat, Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Marhaenis (DPC GPM) Halmahera Selatan berdiri lantang mengecam pelantikan empat kepala desa oleh Bupati Bassam Kasuba. Salah satunya bahkan telah dinyatakan batal demi hukum oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon.
Bagi GPM, tindakan tersebut bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan sinyal suram dari kekuasaan yang enggan tunduk pada hukum dan menampar wajah etika pemerintahan.
“Ini bukan sekadar pelantikan. Ini adalah drama kekuasaan yang menyembunyikan luka hukum di balik upacara seremonial,” tegas Ketua DPC GPM Halsel, Harmain Rusli, yang juga mahasiswa Hukum Syariah STAI Alkhairaat Labuha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Putusan PTUN Nomor 41/G/2023/PTUN.ABN jelas menyebut pemilihan di Desa Kuwo sarat kecurangan. Dari 494 pemilih yang hadir, tercatat 504 suara. Hakim menyebutnya cacat prosedur. Hukum menyatakannya batal. Namun, kepala desa yang sudah dibatalkan justru dilantik kembali.
“SK-nya gugur, subjek hukumnya ditolak pengadilan. Tapi oleh kekuasaan, ia dihidupkan kembali. Ini bukan sekadar pembangkangan hukum, ini adalah bentuk arogansi,” ujar Harmain.
GPM juga menyoroti alasan “diskresi” yang digunakan Pemda untuk membenarkan pelantikan. Menurut Harmain, diskresi tidak bisa dijadikan tameng untuk menabrak hukum.
“Diskresi bukan pelindung bagi pelanggaran. Jika dijadikan perisai untuk menabrak hukum, maka ia telah berubah menjadi wajah baru dari tirani,” katanya.
Lebih jauh, GPM menegaskan seluruh regulasi yang mengatur pemilihan kepala desa mulai dari UU No. 6 Tahun 2014, Permendagri, hingga Perbup Halsel menyatakan solusi atas kecurangan adalah pemilihan ulang, bukan pelantikan ulang.
Pelantikan empat kepala desa ini juga menjadi sorotan karena dilakukan tanpa kehadiran Wakil Bupati Halmahera Selatan. Bagi GPM, ketidakhadiran tersebut adalah simbol krisis kepercayaan dalam pemerintahan.
“Mengapa Wakil Bupati tidak dilibatkan? Apakah ini pemerintahan satu suara tanpa ruang diskusi? Ketidakhadiran ini adalah tanda keretakan kolektifitas pemerintahan,” sindir Harmain.
Empat desa yang kini menjadi episentrum polemik demokrasi adalah Desa Kuo (Gane Timur), Desa Goro-goro (Bacan Timur), Desa Gandasuli (Bacan Selatan), dan Desa Loleongusu (Mandioli Utara).
Menurut GPM, pelantikan cacat hukum ini berpotensi memicu konflik horizontal dan memperlebar ketegangan sosial di masyarakat. Sebagai bentuk sikap, DPC GPM menyatakan siap menggelar aksi besar-besaran sebagai mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Bassam–Helmi.
“Jika hukum dibungkam, maka suara rakyat akan menggelegar. Jangan salahkan bila kantor pemerintahan diguncang oleh gelombang kesadaran rakyat yang tak bisa dibendung,” tutup Harmain.
Suara hukum telah bicara, tapi diredam.
Suara rakyat akan menyusul dan ia tak bisa dibungkam. (red/ir)