Labuha Nalarsatu.com – Polemik pelantikan empat kepala desa oleh Bupati Halmahera Selatan kembali memantik kritik tajam. Praktisi Hukum, Bambang Joisangadji, S.H, dengan tegas menyatakan bahwa pelantikan ulang empat kepala desa yang sebelumnya telah dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon adalah tindakan batal demi hukum dan tidak memiliki dasar yuridis.
Menurut Bambang, perkara tersebut sudah tuntas diperiksa di PTUN Ambon dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Karena itu, langkah Bupati melantik kembali empat orang yang sama merupakan pelanggaran terhadap putusan pengadilan.
“Tidak ada alasan lagi untuk membawa perkara ini ke PTUN, karena subyek hukumnya masih orang yang sama dan sudah ada putusan final. Putusan PTUN sudah sangat jelas menyebutkan bahwa SK Nomor 131 dibatalkan khusus terhadap empat desa dan empat orang yang terlibat di dalamnya,” tegas Bambang saat dimintai tanggapan oleh Nalarsatu.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menjelaskan, SK 131 memang berbentuk kolektif mencakup 26 kecamatan dengan puluhan desa, tetapi hakim hanya membatalkan untuk empat desa tertentu. Pembatalan itu, kata Bambang, lahir dari fakta persidangan yang membuktikan adanya kecurangan dalam proses pemilihan kepala desa.
“Dalil kecurangan itu sudah diuji di pengadilan dan terbukti secara hukum. Maka ketika Bupati berdalih menggunakan diskresi untuk melantik kembali orang-orang yang dibatalkan itu, secara otomatis alasan tersebut gugur dan batal demi hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, Bambang menegaskan bahwa alasan kekosongan hukum yang dipakai untuk membenarkan penggunaan diskresi juga tidak tepat. Pasal 22 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memang mengatur diskresi, namun bukan untuk mengatasi persoalan yang sudah ada aturan dan sudah ada putusan pengadilan.
“Tidak ada kekosongan hukum. UU Desa, Permendagri, Perda hingga Perbup sudah mengatur dengan jelas. Diskresi tidak bisa dipakai untuk melanggengkan sesuatu yang lahir dari kecurangan,” ujarnya.
Ia kemudian mengingatkan bahwa terdapat asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan mengikat para pihak yang berperkara.
“Bupati adalah pihak tergugat dalam perkara ini. Maka wajib tunduk dan patuh pada putusan PTUN yang sudah inkracht. Mengabaikan putusan pengadilan sama saja dengan melecehkan kewibawaan hukum dan peradilan,” pungkas Bambang dengan nada tegas.