Oleh : Irsan Hamid (Anggota Forum Insan Cendikia Sektor Unutara)
DALAM sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu menjadi motor perubahan sosial dan politik bangsa. Dari masa kolonial hingga reformasi, mahasiswa dikenal sebagai barisan intelektual yang berani menyuarakan kebenaran di tengah kebungkaman publik. Namun kini, semangat itu perlahan meredup. Idealisme yang dulu menyala kini mulai padam, tergantikan oleh pragmatisme dan kepentingan pribadi. Fenomena ini menandai lahirnya generasi mahasiswa yang cenderung pasif, apatis, dan terjebak dalam kenyamanan semu modernitas kampus. Di titik inilah muncul pertanyaan besar, apakah gerakan mahasiswa benar-benar telah mati, atau hanya tertidur dalam sistem yang meninabobokan kesadarannya.
Matinya gerakan mahasiswa bisa dipicu oleh kepentingan yang bersifat struktural, yang pada dasarnya dibingkai oleh kepentingan pemimpin yang dilandasi ketakutan. Mahasiswa hari ini perlahan memacu dirinya memasuki alam bawah sadar modernitas, menjadikannya sebagai gaya hidup baru yang justru mengabaikan tanggung jawab moral dan sosial sebagai gerakan perubahan. Tak hanya itu, matinya gerakan mahasiswa juga lahir dari minimnya toleransi dan kebebasan bagi siapa saja yang ingin berpikir dan bertindak secara merdeka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gerakan mahasiswa kini lahir dan berkembang dalam budaya yang tidak lagi rasional, bertumpu pada tiga faktor utama: kepentingan, ketakutan, dan minimnya toleransi. Kampus yang sejatinya hadir sebagai bentuk manifestasi pendidikan yang kompeten dan berkarakter, kini justru disalahartikan oleh sebagian mahasiswa. Banyak yang menjadikan kampus hanya sebagai tempat menuntut ilmu secara formal, bukan sebagai ruang perjuangan intelektual dan moral.
Beberapa suara mulai mempertanyakan kembali relevansi mahasiswa di dunia kampus. Kapasitas mahasiswa yang seharusnya berdiri di atas kepentingan kolektif, kini terjebak dalam pusaran kepentingan kelompok yang sempit. Lebih parah lagi, mahasiswa yang mencoba berpikir kritis dan berbeda sering dianggap ancaman. Ini merupakan bentuk kesalahan berpikir yang fatal, sebab mahasiswa seharusnya tampil terbuka terhadap perbedaan, bukan tampil dengan fanatisme ideologi tertentu. Mengabaikan kompetensi mahasiswa hanya karena perbedaan ideologi akan membawa gerakan pada kepentingan sempit dan menjauh dari semangat perubahan yang sejati.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana budaya kikir dalam wacana dan trauma sosial di kalangan mahasiswa berkembang tanpa arah. Banyak yang takut bersuara, takut berbeda, dan akhirnya memilih diam. Akibatnya, organisasi mahasiswa sering kali terjebak pada konflik internal yang tidak produktif dan kehilangan nilai edukatif. Padahal, organisasi semestinya menjadi wadah pembentukan karakter dan kesadaran kritis mahasiswa, bukan sekadar alat perebutan pengaruh.
Ketika mahasiswa masih dalam kondisi carut-marut seperti saat ini, seharusnya wacana tentang kapasitas dan kemajuan bersama justru dikembangkan. Mahasiswa perlu kembali memahami makna “kepentingan bersama” bukan sebagai jargon, melainkan sebagai etos gerakan. Sebab, wawasan yang stagnan akan mudah tergerus oleh desakan internal dan eksternal yang justru merugikan etos kebangsaan. Ketika kesadaran kebangsaan memudar, maka gerakan mahasiswa kehilangan arah perjuangannya.
Secara internal, mahasiswa yang berwawasan luas akan mampu mengantisipasi dominasi ideologi yang menyesatkan, dengan cara memperkuat basis pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan menjadi benteng ideologis untuk melawan kepentingan pragmatis yang sering menyusup ke dalam ruang-ruang organisasi. Dalam konteks ini, mahasiswa harus kembali menghidupkan tradisi intelektual membaca, berdiskusi, menulis, dan turun ke masyarakat. Sebab di situlah napas sejati gerakan mahasiswa: berpikir, bertindak, dan berjuang untuk kepentingan rakyat.
Toleransi antar-mahasiswa juga menjadi fondasi penting untuk menghidupkan kembali semangat kolektif. Toleransi yang dimaknai tanpa egosentrisme akan melahirkan kerja sama dan solidaritas yang murni, bukan klaim sepihak atas kebenaran. Dalam semangat itu, perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan berpikir yang perlu dirawat.
Solusinya, mahasiswa perlu menegaskan kembali jati diri mereka sebagai agent of change, social control, dan moral force. Tiga peran itu harus dihidupkan bukan sekadar dalam retorika, tetapi dalam praktik nyata. Kampus harus menjadi ruang pembentukan kesadaran kritis, bukan sekadar tempat mengejar gelar akademik. Gerakan mahasiswa harus bangkit dengan kesadaran bahwa perjuangan intelektual tidak akan pernah mati selama masih ada yang berani berpikir, berdebat, dan berdiri di atas kebenaran.
Matinya gerakan mahasiswa bukanlah akhir, tetapi tanda bahwa kesadaran baru perlu dilahirkan. Dari ruang-ruang diskusi kecil, dari tulisan yang jujur, dari keberanian melawan arus kepentingan, gerakan itu bisa hidup kembali. Asalkan mahasiswa berani merebut kembali peran utamanya: menjadi suara nurani bangsa. ) *







