Oleh : Bachtiar S. Malawat – Founder Forum Insan Cendikia (FIC)
KAWAN-KAWAN, di setiap titik sejarah bangsa, mahasiswa selalu berdiri sebagai kelompok yang paling gelisah sekaligus berani. Kegelisah lahir karena melihat jurang kenyataan yang tidak sesuai dengan cita-cita dan berani karena sadar bahwa diam adalah bagian dari dosa sosial. Namun ada yang berubah di zaman ini. Musuh mahasiswa tidak lagi terletak pada tank, senapan, atau aparat represif, musuh mereka kini adalah banjir informasi, kultur instan, kebodohan terstruktur, politik pencitraan, dan sistem pendidikan yang mematikan daya kritis. Di tengah kondisi itu, hanya satu moto perjuangan yang benar-benar dapat menyelamatkan mahasiswa dari kehancuran intelektual yakni Literasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Literasi adalah benteng terakhir yang masih bertahan ketika seluruh sendi-sendi akal sehat bangsa mulai rapuh oleh kebohongan publik. Di dalam kampus, di luar kampus, di layar ponsel, di ruang-ruang debat maya, dan bahkan dalam ruang-ruang birokrasi pendidikan, kita menyaksikan bagaimana kebenaran perlahan kehilangan wibawanya. Di tengah kerusakan sistemik itu, mahasiswa berdiri sebagai kelompok yang seharusnya mampu menahan gempuran ketidaktahuan yang kian terstruktur. Namun kenyataannya, banyak mahasiswa hari ini justru terjebak dalam arus kebodohan baru bukan karena mereka kekurangan akses terhadap informasi, melainkan karena informasi yang terlalu melimpah membuat kemampuan mereka untuk memilah menjadi tumpul. Maka di sinilah literasi menjadi bukan sekadar kemampuan baca-tulis, tetapi menjadi barikade terakhir, benteng intelektual terakhir untuk menghadapi zaman yang dipenuhi kabut manipulasi.
Bangsa ini bukan sedang miskin orang pintar, tetapi sedang tenggelam dalam suasana di mana kepintaran tidak lagi dihargai. Semakin keras seseorang berpikir, semakin mudah ia disalahpahami. Semakin tajam seseorang berbicara, semakin cepat ia diserang oleh sentimen kelompok. Mahasiswa, yang dulu dikenal sebagai “nafas intelektual bangsa”, kini berada pada persimpangan jalan. Mereka dapat memilih menjadi bagian dari arus besar kebingungan publik atau berdiri tegak sebagai pelurus arah bangsa. Namun pilihan kedua tidak mungkin dicapai tanpa literasi yang kukuh. Data dari UNESCO mengingatkan dengan pahit, tingkat minat baca Indonesia berada pada posisi yang memalukan, hanya satu dari seribu orang yang benar-benar menjadikan membaca sebagai kebutuhan. Riset PISA tahun 2022 bahkan lebih getir, menempatkan Indonesia di zona merah dalam kemampuan membaca dan memecahkan masalah. Kelas-kelas kampus yang seharusnya menjadi ruang pembentukan pikiran kritis justru dipadati mahasiswa yang hanya menghafal slide dosen, tanpa pernah menantangnya.
Di sinilah literasi berubah dari aktivitas biasa menjadi tindakan politis. Membaca bukan lagi kegiatan privat, tetapi resistensi terhadap dominasi. Menulis bukan lagi sekadar tugas akademik, tetapi praktik pembebasan. Diskusi bukan lagi ajang debat kusir, tetapi ruang kolektif untuk menguji kebenaran. Mahasiswa yang membaca dengan tekun sesungguhnya sedang melawan. Mahasiswa yang menulis dengan tajam sebenarnya sedang meruntuhkan hegemoni wacana. Mahasiswa yang berdiskusi dengan jujur sebenarnya sedang melawan sistem informasi yang mengutamakan sensasi daripada substansi.
Zaman ini adalah zaman di mana informasi telah menjelma menjadi racun ketika tidak diolah. Kita hidup dalam kondisi “banjir data, kelaparan makna”. Mahasiswa diguyur jutaan konten setiap hari. Mereka membaca cuplikan, bukan cerita, membaca headline, bukan konteks, membaca komentar, bukan argumen. Akibatnya mereka merasa tahu tentang banyak hal, padahal sebenarnya tidak memahami apa pun secara mendalam. Inilah penyakit baru mahasiswa modern, ilusi pengetahuan. Ilusi ini membuat mereka tampak cerdas di permukaan, tetapi rapuh saat berhadapan dengan debat sungguhan. Mereka agresif dalam menanggapi isu, tetapi kosong ketika diminta menjelaskan dasar pemikirannya. Mereka cepat marah dalam diskusi politik, tetapi lambat membaca data. Mereka lancar berpendapat tetapi gagap menganalisis.
Literasi yang melemah ini bukan datang dari ruang kosong. Sistem pendidikan kita turut menyumbang kerusakan. Banyak kampus lebih sibuk mengejar akreditasi daripada menciptakan intelektual. Administrasi mengalahkan gagasan. Dokumen penilaian lebih penting daripada kualitas diskusi. Perpustakaan dibangun megah, tetapi kosong dari aktivitas membaca. Dosen-dosen tercerabut dari fungsi intelektualnya karena dibebani laporan dan angka-angka. Mahasiswa tenggelam dalam tugas teknis yang membuat mereka lelah, sehingga tak lagi punya energi untuk membaca buku yang lebih berat. Kampus akhirnya menjadi mesin produksi ijazah, bukan tempat membentuk kesadaran.
Namun semua itu tidak mengubah fakta bahwa mahasiswa tetap memegang peran historis sebagai penjaga akal publik. Dan peran itu hanya dapat dijalankan melalui literasi. Literasi adalah kemampuan memahami masalah secara menyeluruh, bukan hanya sepenggal. Literasi adalah kemampuan membaca realitas sosial, bukan hanya membaca buku. Literasi adalah kemampuan memilah kebenaran dari kebisingan opini. Literasi adalah kemampuan melawan narasi palsu yang diproduksi oleh kekuasaan maupun oposisi. Literasi adalah kemampuan menempatkan diri di atas kepentingan kelompok dan membaca persoalan secara objektif. Mahasiswa tanpa literasi hanya menjadi alat politik.
Sejarah bangsa membuktikan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari literasi. Pergerakan nasional dimotori oleh kalangan terdidik yang membaca buku-buku perlawanan, menulis artikel, serta mengolah gagasan. Reformasi 1998 dipicu oleh rangkaian kajian panjang di kampus-kampus. Mahasiswa menulis manifesto, risalah, dan analisis kebijakan yang memperlihatkan keberanian mereka. Di balik setiap teriakan demonstrasi, selalu ada lembaran-lembaran kajian yang dibaca dan didiskusikan selama berbulan-bulan. Gerakan mahasiswa bukan gerakan spontan, itu adalah gerakan pengetahuan.
Hari ini, ketika kekuasaan semakin lihai memainkan narasi, ketika media sosial menciptakan jutaan opini dalam satu detik, ketika propaganda lebih cepat menyebar daripada fakta, literasi kembali menjadi satu-satunya alat yang dapat menjaga mahasiswa agar tidak terperangkap dalam perang informasi. Literasi membuat mahasiswa tidak mudah percaya pada perang framing. Literasi membuat mereka berani meragukan informasi yang beredar. Literasi membuat mereka tidak menjadi budak algoritma yang hanya menampilkan konten sesuai preferensi mereka. Literasi membuat mahasiswa keluar dari ruang gema yang membatasi pola pikir.
Data penelitian internasional menunjukkan bahwa gerakan literasi lebih efektif mengembalikan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dibanding metode pengajaran formal. Sebuah studi di Filipina menunjukkan penurunan drastis keterpaparan hoaks di kalangan mahasiswa yang aktif dalam komunitas literasi kampus, mencapai enam puluh persen dalam satu semester. Program literasi di sejumlah kampus Asia Tenggara yang menuntut mahasiswa menulis satu buku dalam satu tahun terbukti meningkatkan kemampuan analisis mereka hingga empat puluh persen. Bahkan di Indonesia sendiri, mahasiswa yang rutin mengakses perpustakaan memiliki indeks literasi tiga kali lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak pernah membaca di luar kelas.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar kegiatan akademik, tetapi fondasi perubahan sosial. Literasi mengubah cara mahasiswa melihat dunia. Ketika mahasiswa membaca lebih banyak, mereka tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga memperdalam kesadaran sosial. Mereka mulai memahami bahwa ketidakadilan bukan peristiwa tunggal, melainkan struktur. Kemiskinan bukan akibat kemalasan, tetapi akibat kebijakan. Korupsi bukan soal moral individu, tetapi sistem yang memfasilitasinya. Literasi memberi mahasiswa kemampuan membaca pola. Dan siapa pun yang mampu membaca pola, akan mampu mengubahnya.
Dalam ruang publik yang semakin sesak oleh narasi instan, mahasiswa yang literat adalah ancaman bagi siapa saja yang ingin mempertahankan kebodohan sebagai alat kekuasaan. Mahasiswa yang literat sulit dibohongi. Mereka tidak mudah dikendalikan. Mereka tidak mudah dirayu oleh kepentingan jangka pendek. Mereka mengerti bahwa kritik tidak lahir dari kebencian, tetapi dari cinta terhadap bangsa. Mereka mengerti bahwa gagasan yang baik membutuhkan argumen, bukan amarah. Mereka mengerti bahwa suara rakyat tidak boleh digantikan oleh ilusi digital. Di tangan mahasiswa yang literat, Indonesia memiliki harapan untuk keluar dari jeratan propaganda.
Namun literasi bukan sesuatu yang terjadi secara otomatis. Literasi harus dipaksakan kepada diri sendiri. Ia membutuhkan kedisiplinan, konsistensi, dan keteguhan. Mahasiswa harus berani memaksa dirinya membaca buku lebih keras daripada membaca komentar media sosial. Mereka harus membangun kebiasaan menulis, bukan hanya memposting. Mereka harus menjadikan diskusi sebagai ruang latihan berpikir, bukan arena mempermalukan lawan bicara. Literasi memerlukan keberanian untuk merasa bodoh sebelum menjadi pintar, karena setiap proses pembelajaran dimulai dengan ketidaktahuan yang diakui. Mahasiswa harus menerima bahwa menjadi literat berarti bersedia selalu diperbaiki oleh pengetahuan baru.
Jika mahasiswa mampu menempatkan literasi sebagai moto penggerak utama, maka kampus akan kembali hidup sebagai ruang perlawanan intelektual. Forum-forum diskusi akan berkembang. Jurnal mahasiswa akan terbit. Buku-buku akan dibaca. Perdebatan akan kembali menjadi budaya, bukan ancaman. Organisasi intra kampus akan kembali memikirkan substansi, bukan seremonial. Mahasiswa akan kembali menjadi kekuatan moral bangsa yang ditakuti oleh kekuasaan lalim. Karena kekuasaan hanya takut pada dua hal, rakyat yang bersatu dan mahasiswa yang literat.
Pada akhirnya, literasi bukan sekadar alat berpikir, tetapi fondasi moral. Literasi adalah cara mahasiswa menjaga dirinya tetap manusiawi di tengah sistem yang ingin menjadikan mereka angka. Literasi adalah cara mahasiswa menjaga dirinya tetap kritis di tengah masyarakat yang mulai nyaman dengan kebohongan. Literasi adalah cara mahasiswa menjaga dirinya tetap hidup sebagai akal publik ketika banyak orang memilih diam. Literasi adalah barikade terakhir, benteng terakhir, pagar terakhir dari kehancuran intelektual bangsa. Selama mahasiswa masih membaca, selama mahasiswa masih menulis, selama mahasiswa masih berani mempertanyakan, selama itu pula bangsa ini memiliki harapan.
Jika suatu hari bangsa ini jatuh ke jurang kegelapan, penyebabnya bukan karena musuh kuat, tetapi karena mahasiswa berhenti membaca. Dan jika bangsa ini ingin bangkit, kebangkitannya hanya akan dimulai dari satu hal, mahasiswa yang kembali menjadikan literasi sebagai moto, sebagai nafas, sebagai perjuangan, sebagai barikade terakhir melawan kebohongan zaman. Terimakasih.







