Perempuan dan Standar Ganda : Antara Dipuji dan di Adili

- Penulis Berita

Jumat, 27 Juni 2025 - 11:43 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Hani ArifinAnggota Literasi Forum Insan Cendikia dan Mahasiswa PWK Unutara

DI masyarakat kita, menjadi perempuan sering kali terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Ketika bersikap tegas, orang mencapnya galak. Namun saat memilih bersikap lembut, orang yang sama pun akan menilainya lemah. Di antara dua ekstrem itu, perempuan terus-menerus menjadi sasaran standar ganda. Mereka dipuji ketika tunduk pada ekspektasi sosial, tetapi langsung diadili ketika menyimpang sedikit saja dari norma yang diciptakan masyarakat.

Fenomena standar ganda ini tidak muncul tiba-tiba. Sejak kecil, keluarga dan lingkungan sosial terus membentuk cara pandang terhadap perempuan. Mereka mengajarkan bahwa perempuan harus bersikap lemah lembut, penurut, dan tidak banyak bicara. Sedangkan laki-laki justru diajarkan untuk menjadi tegas dan ambisius. Ketika seorang perempuan menunjukkan sikap yang sama seperti laki-laki, masyarakat tidak segan melabelinya sebagai sombong, terlalu percaya diri, atau tidak tahu tempat. Dalam ruang publik, apalagi di media sosial, standar ganda ini makin tampak terang. Perempuan yang memilih berpakaian terbuka langsung dikritik karena dianggap mengundang. Namun ketika ia mengenakan pakaian tertutup, komentar sinis tetap mengalir. Ekspresi diri perempuan, seolah-olah, menjadi sesuatu yang boleh dinilai dan diperdebatkan oleh siapa saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tekanan itu tidak berhenti di ruang sosial, tetapi meluas ke dunia kerja dan pendidikan. Ketika perempuan mengejar karier, banyak orang mencapnya ambisius atau bahkan menuduhnya mengabaikan keluarga. Sebaliknya, ketika ia memutuskan untuk fokus di rumah, orang tetap saja memberikan cap seolah ia tidak produktif dan tidak berdaya. Tidak peduli pilihan apa yang diambil, masyarakat tetap menilai dengan kacamata sempit yang menyudutkan.

Tekanan sosial semacam ini membawa dampak psikologis yang dalam. Banyak perempuan tumbuh dalam ketakutan akan kesalahan, rasa cemas akan penilaian, dan dorongan untuk selalu menyenangkan orang lain. Rasa tidak percaya diri muncul sejak dini dan perlahan-lahan menggerogoti keberanian untuk bermimpi besar. Mereka sering kali harus berpikir berkali-kali hanya untuk menyampaikan pendapat, bertindak sesuai kehendak, atau mengejar cita-cita mereka sendiri.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Bukan hanya individu, tetapi seluruh masyarakat yang selama ini nyaman dengan cara pandang yang bias. Kita semua, baik sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari pola pikir yang terus-menerus merugikan perempuan. Kita mewarisi dan menyebarkan narasi yang menempatkan perempuan dalam posisi serba salah. Padahal, perubahan hanya bisa terjadi ketika kita mulai berani mengoreksi cara pandang yang sudah mapan itu.

Kesadaran kolektif menjadi kunci. Dari rumah, sekolah, tempat kerja, hingga media, kita harus menciptakan ruang yang aman bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya. Pendidikan perlu membuka ruang yang setara dan media perlu berhenti memperlakukan perempuan sebagai objek hiburan semata. Kita perlu lebih banyak mendengar perempuan, bukan menilainya. Kita perlu menghargai pilihan mereka, bukan menghakiminya.

Perempuan tidak harus menjadi sempurna untuk bisa diterima. Mereka hanya ingin menjadi diri mereka sendiri tanpa tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar yang tidak adil. Mereka tidak butuh penghakiman, yang mereka butuhkan adalah pengertian. Karena pada akhirnya, perempuan bukan untuk dinilai. Mereka ingin didengar, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh. (*)

 

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Organisasi : Laboratorium Ilmu Pengetahuan untuk Mahasiswa
“Balas Pantun” DOB Sofifi
Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Romantisme Yang Tewas di Balik Meja Rapat
Berita ini 110 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 13 Agustus 2025 - 09:12 WIT

Ketua Panitia Pelantikan APDESI Halsel: Momentum Membangun Desa dari Desa

Rabu, 13 Agustus 2025 - 07:32 WIT

Kantor Hukum Bambang Joisangadji & Patners Resmi Lapor Risal Sangaji Pemerasan terhadap Kades Toin

Rabu, 13 Agustus 2025 - 06:34 WIT

Kades Toin: Saya Diancam Berulang Kali, Jangan Jadikan Saya ATM Ini Uang Rakyat, Kalau Uang Pribadi Saya Pasti Penuhi

Rabu, 13 Agustus 2025 - 05:28 WIT

Mengulang Sejarah Boki Fatimah, Jurnalis Perempuan Halsel Didorong Pimpin KNPI

Senin, 11 Agustus 2025 - 22:17 WIT

Dana Rp182 Juta Cair, Paving Lapangan Kai Puf Busua Belum Dimulai — IPMB: “Ini Tanda Bahaya”

Senin, 11 Agustus 2025 - 22:03 WIT

Koalisi Pemerhati Hukum Nusantara Gelar Aksi Jilid II di Depan Gedung KPK RI

Senin, 11 Agustus 2025 - 15:33 WIT

Dituding Main Proyek, Wakil Ketua Komisi I DPRD Halsel Tempuh Jalur Hukum

Senin, 11 Agustus 2025 - 12:19 WIT

Tokoh Masyarakat Desa Toin Bantah Pemberitaan Negatif, Sebut Kades Fahmi Taher Pemimpin Terbaik

Berita Terbaru