Oleh : Sanju La Olu – Kabid Pengembangan Aparatur Organisasi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Taliabu
PULAU Taliabu merupakan daerah hasil pemekaran yang telah berdiri lebih dari satu dekade, Pembentukan Kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara, yang diresmikan pada tanggal 11 Januari 2013.
Waktu yang cukup panjang setelah menjadi daerah otonomi baru, Kabupaten Pulau Taliabu masi dakategorikan daerah 3T yaitu Tertinggal, Terdepan dan Terluar yang mengalami keterbatasan akses terhadap berbagai layanan dan infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Keterbatasan tersebut merupakan hasil dari pembangunan yang tidak merata. Hal ini sebagai mana tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memajukan suatu daerah merupakan tugas yang cukup kompleks, hal ini akan sulit terselesaikan jikalau tidak adanya kolaborasi lintas sektor, baik itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah beserta OPD sebagai lembaga eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Lembaga Legislatif, masyarakat serta lembaga organisasi Kemahasiswaan dan pemuda sebagai lembaga yang mengontrol legislatif dan eksekutif agar dapat berjalan sesuai dengan koridor yang berlaku. Maka dari itu kami secara kelembagaan Himpunan Mahasiswa Taliabu berupaya untuk menjalakan peran fungsi kami sebagai salah satu lembaga untuk mengntrol dengan harapan perubahan kearah lebih baik segera terbit setelah usaha yang begitu panjang.
Terlepas dari pada itu tentunya banyak problematika yang perlu ditangani didaerah Kabupaten Pulau Taliab agar mampu keluar dari dareah 3T, salah satunya mengenai kesehatan, ini merupakan masalah yang sangat-sangat krusial yang perlu segera diselesaikan dikarenakan berkaitan langsung dengan nyawa masyarakat yang berdomisili di Taliabu, Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa terdapat 9 Puskesmas yang berada di Taliabu yang tersebar pada 8 kecamatan yang dimana masing-masing puskesmas terbagi kedalam beberapa jenis. Diantaranya
1. Puskesmas dengan jenis terpencil non rawat inap yaitu Puskesmas Bobong untuk kec Taliabu Barat dan Puskesmas Sahu-Tikong yang berada di kec Taliabu Utara
2. Puskesmas dengan jenis sangat terpencil non rawat inap yaitu Puskesmas Gela untuk kec Taliabu Utara, Puskesmas Lede yang berada di kec Lede, Puskesmas Pancado yang berada di kec Taliabu Selatan serta Puskesmas Tabona yang berada di Kecamatan Tabona
3. Puskesmas dengan jenis sangat terpencil Rawat inap yaitu Puskesmas Nggele untuk kec Taliabu Barat laut, Puskesmas Losseng yang berada di kec Taliabu Timur Selatan serta Puskesmas Samuya yang berada di kec Taliabu Timur.
Jenis Puskesmas rawat inap dan non rawat ini sudah seharusnya memiliki tenaga Dokter paling minimal satu orang untuk menempati setiap Puskesmas yang berada di Pulau Taliabu, hal ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 kecukupan tenaga kesehatan di Puskesmas
Selain dari pada itu, tentunya tenaga kesehatan lainya seperti Farmasi, Perawat, Kesehatan Masyarakat, Kesehatan Lingkungan, Bidan, Gizi serta Ahli Teknik Laboratorium Medis pun harus terdapat disetiap Puskesmas, agar mampu menjalankan fungsi pelayanan tingkat pertama di rana Puskesmas, hal ini pula di dukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Pasal 16 Ayat 3
Berangkat dari pada peraturan mentri kesehatan diatas, suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataanpun terjadi, yang dimana saat ini persebaran tenaga kesehatan (Nakes) di 9 Puskesmas Taliabu tidak merata bahkan kekurangan Nakes. Hanya Puskesmas Lede yang memiliki Nakes lengkap, sementara itu 8 Puskesmas lainya tidak memiliki Nakes yang lengkap, kalau kemudian dihitung dalam angka presentase dari 9 Puskesmas tersebut, maka 11,1% Puskesmas dengan Nakes lengkap dan 88,9% Puskesmas yang Nakesya tidak lengkap yang berada dikabupaten kita. Bagaimana mungkin bisa Puskesmas dapat menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya kalau kemudian Nakes di Puskesmas tersebut masi kurang.
Tidak hanya sampai disitu, kalau kemudian fungsi pelayanan kesehatan tingkat pertama gagal dijalankan, maka sudah menjadi hal yang pasti bahwa kita bercengkerama dengan soal rujuk-merujuk yang merupakan dampak atau masalah baru yang terjadi karena peran di tingkat Puskesmas tidak terlaksana dengan baik. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang berada dikabupaten Pulau Taliabu tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pasien yang melakukan rujuk ke RSUD, Dari 8 kacamata yang ada dikabupaten pulau Taliabu, hanya Taliabu Barat yang bisa menempuh akses jalan darat untuk sampai ke RSUD, 7 Kecamatan lainya harus bertarung dengan gelombang, angin bahkan hujan melalui jalur laut untuk sampai ke RSUD. kondisi seperti ini sejak lama terjadi namun belum ada usaha serius yang dilakukan oleh pihak terkait untuk menyelesaikanya, entahlah mungkin kita dipaksa sehat dinegri yang makin hari makin sakit ini.
Sialnya rujuk-merujuk ini tidak hanya sampai ke RSUD Taliabu, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara menjadi tempat transit pengobatan masyarakat Kapubaten Pulau Taliabu dikarenakan masalah-masalah diatas sehingga terkadang nyawa menjadi taruhanya karena minimnya SDM/Nakes, Prasarana Puskesmas dan RSUD serta Infrastruktur jalan yang sangat rusak. Berapa nyawa lagikah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perosalan kesehatan yang berada di kabupaten Pulau Taliabu?
Dalam waktu yang cukup lama masyarakat berteriak dengan mantra dari Ujung Negri Maluku Utara Pulau Taliabu, akhirnya sampai pula ke telinga Pemerintah Pusat dan menjaba do’a-do’a itu dengah peluang yang begitu besar bagi Kabupaten Pulau Taliabu saat ini untuk kemudian memajukan daerah dari segi kesehatan melalui program kementerian kesehatan terkait dengan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang mencakup peningkatan kualitas Rumah Sakit tipe D ke C, yang bertujuan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan di daerah terpencil.
Program ini tentunya memiliki nilai manfaat yang begitu besar bagai Masyarakat Pulau Taliabu terkhususnya, sehingga tidak perlu lagi dirujuk ke luar daerah untuk mendapatkan layanan kesehatan spesialis, serta mendapatkan layanan yang lebih cepat, dekat, dan berkualitas.
Keseriusan pemerintah pusat patut diapresiasi karena telah mampu menunjukan bentuk tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan kesehatan hal ini dapat dilihat melalui kunjungan Mentri Kesehatan dalam rangka peletakan batu pertama pada pembangunan Rumah Sakit Daerah Pulau Taliabu yang sebelumnya telah dirombak. Kalau kemudian kita merujuk pada dokumen pembongkaran Rumah Sakit Daerah oleh Dinas Kesehatan ada tiga gedung yang kemudian dibongkar jika diakumulasikan anggaran materil bangunan yang dibongkar mencapai 7 Milyar lebih, pembongkaran ini merupakan salah satu syarat yang kemudian dilakukan agar peningkatan status rumah sakit bisa naikkan.
Persoalan Pembongkaran rumah sakit ini kami menilai tidak menempuh prosedural yang seharusnya dan semestinya. Karena menurut hasil kajian kami Kepala Dinas Kesehatan perlu kiranya mampu merasionalisasikan dan mempertanggungjawabkan dasar kajian pembongkaran RSUD tanpa melibatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal mengawasi pembongkaran RSUD karena dikategorikan sebagai salah satu aset daerah yang memiliki nominal angka tidak sedikit, yang dimana hal ini di perkuat dalam PP. No 7/2014 Tentang pemusnahan, pemindahtanganan dan relokasi aset daerah harus melalui persetujuan DPR
Selain pembongkaran RSUD, wacana pemindahan lokasi pembangunan RSUD, dari Ratahaya ke lokasi HKG pula muncul dipermukaan, sehingga menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat Pulau Taliabu pada masa seratus Hari kerja pemerintah daerah, setelah kami menganalisa visi missi Bupati dan Wakil Bupati yang tertuang dalam misi poin satu
“Membangun Sumber Daya Manusia Taliabu yang Sehat, Cerdas, Bermoral Agamis dan Berdaya Saing dengan membangun sektor pendidikan, kesehatan, kebudayaan, keagamaan dan pertanian melalui kepemimpinan yang Adil, Jujur dan Menginspirasi”. Tentunya ini sangat sejalan dengan masalah kesehatan yang berbeda didaerah kita. Namun lagi-lagi pemindahan lokasi RSUD menjadi soal baru di bidang kesehatan.
Jika saja wacana pemindahan lokasi RSUD pada saat ini sampai terlaksana, tentunya kami menilai Pemda saat ini lemah dalam melakukan kolaborasi serta kajian yang mendalam untuk mengimplementasikan misi kesehatan Pemda. Karena menurut kami, bertolak dari alasan yang kemudian dikemukakan oleh pemerintah daerah sehingga perlu adanya pemindahan lokasi dengan dalih karena akses jalan yang kurang baik dan jarak yang agak jauh dari Ibu Kota, hal ini tentunya kami sarankan agar pemda mampu lebih jeli menyikapi soal ini, jika akses jalan yang menjadi indikator pemindahan RSUD, maka yang seharusnya di perbaiki adalah jalanya bukan pemindahan lokasinya, kemudian jarak bukanlah hal yang fundamental untuk dijadikan sebagai alasan yang kuat, karena dalam faktanya RSUD saat ini memiliki jarak ±3,5 KM dari ibu kota kabupaten (Bobong), jarak ini masih cukup mudah bila ditempuh oleh masyarakat serta memenuhi standar lokasi RSUD hal ini sejalan dengan permenkes No 24 Tahun 2006 yang tidak menetapkan batas maksimal jarak dari ibu kota. Faktanya banyak daerah-daerah lain yang memiliki jarak yang cukup jauh antara RSUD dari Pusat Ibu Kota.
Selain dari pada itu lokasi HKG merupakan ruang terbuka hijau atau kawasan lindung, artinya bahwa lokasi ini memiliki kegunaan untuk melindungi kelestarian lingkungan yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan agar lokasi tersebut bisa menjalankan peranya, lokasi HKG pula masuk dalam kategori lokasi yang rawan terkena bencana banjir tinggi dan rawan bencana Likuefaksi, yang dimana lokasi ini tidak di peruntukan oleh pembangunan pemukiman maupun sarana prasarana lainya. Kalau kemudian lokasi ini fiks menjadi lokasi pembangunan RSUD, tentunya ini tidak sejalan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) perkotaan tahun 2023 Kabupaten Pulau Taliabu.
Dengan terlaksananya peletakan batu pertama pembangunan RSUD Kabupaten Pulau Taliabu pada maret 2025 tentunya ini menandakan bahwa Kemenkes sudah menyetujui terkait dengan kenaikan status RSUD setelah melewati berbagai kajian dan pertimbangan baik itu
Lokasi yang sudah sesuai secara teknis maupun dokumenter administrasi, dengan massa kontrak kerja sampai pada Desember 2025 dengan alokasi anggaran bersumber dari APBN sebesar 173M, namun sampai saat ini pembangunan RSUD belum juga dijalankan, jika pemindahan lokasi RSUD masi juga dipaksakan tentunya harus mengikuti berbagai tahap yang dimulai dari awal, mulai dari peninjauan status lahan, luas lokasi pembangunan yang berstandar 3,5 ha serta dokumen AMDAL yang tentunya hal ini akan memakai waktu yang cukup banyak sehingga akan berdampak pada proyek bisa tertunda dan jadi temuan BPK/Kemenkes sehingga berpotensi program kementerian Kesehatan ini dialihkan ke kabupaten lain yang sudah lebih siap.
Bertolak pada tulisan diatas maka hal ini tentunya kami menaruh harapan besar agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pulau Taliabu segera mengambil langkah-langkah penyelesaian atas banyaknya masalah yang carut-marut didaerah ini sebagi representasi masyarakat, terkhusus soal pembongkaran RSUD dan Program Hasil Terbaik Cepat. Maka daripada itu seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan kewenangan yang melekat pada lembaga legislatif seperti
1-DPRD agar mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD oleh kepala daerah.
-DPRD dapat memanggil Bupati untuk memberikan klarifikasi atas keputusan pemindahan lokasi. Yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 154 ayat (1) huruf c
2. Meminta pertanggungjawaban atas pemusnahan atau pemindahan aset daerah sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (*)