Oleh: La Ode Emi
Kejahatan kesusilaan terhadap anak kian hari kian mengkhawatirkan. Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, kasus pencabulan terhadap anak masih saja menjadi wajah muram dalam potret hukum dan sosial kita. Anak-anak, yang seharusnya tumbuh dalam ruang aman dan penuh kasih, justru menjadi korban hasrat bejat yang melampaui batas kemanusiaan. Negara, dalam hal ini, tidak boleh ragu untuk hadir sebagai pelindung mutlak.
Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tindak pidana kesusilaan dalam sejumlah pasal, termasuk Pasal 287, 290, dan 294. Pasal-pasal ini memberikan batasan hukum terhadap tindakan pencabulan dan persetubuhan terhadap anak, bahkan ketika dilakukan atas dasar “suka sama suka.” Hukum memahami bahwa anak belum memiliki kapasitas untuk menyetujui secara sah tindakan seksual, apalagi ketika pelaku adalah pihak yang memiliki kuasa atau kedudukan atas si anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya, implementasi hukum seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Banyak kasus pencabulan terhadap anak yang justru berhenti di tahap mediasi, “penyelesaian kekeluargaan,” atau bahkan terhenti akibat tekanan sosial dan ekonomi. Padahal, kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tak seharusnya diredam dalam kompromi. Pendekatan restorative justice, dalam konteks ini, sering disalahgunakan.
Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas memperkuat posisi anak sebagai subjek hukum yang wajib dilindungi. Pasal 82 UU ini bahkan memberikan ancaman pidana berat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dengan pidana penjara hingga 15 tahun dan denda miliaran rupiah. Jika pelaku memiliki relasi kuasa seperti guru, orang tua, atau pendidik, hukum memperberat sanksinya sepertiga dari ancaman awal.
Persoalannya kini bukan terletak pada kekosongan hukum, melainkan pada ketegasan dalam menegakkan hukum. Negara tidak boleh membiarkan ruang abu-abu bagi predator anak. Aparat penegak hukum harus menjadikan setiap kasus sebagai prioritas, dengan perspektif perlindungan anak sebagai dasar bertindak, bukan sekadar formalitas penegakan hukum.
Lebih jauh lagi, sistem perlindungan anak di Indonesia juga diwarnai dengan keragaman definisi tentang usia anak. Mulai dari KUHPerdata, UU Ketenagakerjaan, hingga UU Perkawinan memiliki batas usia berbeda-beda tentang siapa yang disebut anak. Inkonsistensi ini bisa berdampak pada upaya penegakan hukum yang efektif. Harmonisasi regulasi menjadi mendesak, agar tidak menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan pelaku kejahatan.
Anak-anak adalah cermin masa depan bangsa. Negara yang gagal melindungi anak-anaknya adalah negara yang menyiapkan kehancurannya sendiri. Sudah waktunya pendekatan hukum terhadap kejahatan seksual terhadap anak dilakukan dengan paradigma perlindungan dan keadilan, bukan sekadar penegakan hukum prosedural.
Setiap anak berhak atas masa depan yang utuh dan bermartabat. Dan kita semua, sebagai bagian dari masyarakat dan negara, punya tanggung jawab untuk menjamin hal itu. Tidak boleh ada ruang bagi kompromi terhadap kekerasan seksual. Dalam perkara anak, negara harus tegas, tidak bisa tawar-menawar.