Oleh : Sefnat Tagaku, S.Th (Sekretaris DPC GAMKI Halsel)
Selayang Pandang : Kepulauan Obi
Bagaimana nasib ekonomi kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), jika Pulau Obi dimekarkan menjadi kabupaten tersendiri (terpisah) dari daerah berslogan Bumi Saruma? Pertanyaan ini hendak dipakai penulis dalam merefleksikan serta mengandaikan masa depan negeri Halsel ditengah menguatnya Pulau Obi masuk pada daftar kelayakan pemekaran kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wacana tentang tuntutan pemekaran Pulau Obi menjadi kabupaten terpisah dari Halmahera Selatan bukanlah pembahasan baru. Dinamika ini sudah berlangsung sejak akhir tahun 2010, dimana waktu itu Dr. Muhammad Kasuba sebagai Bupati kabupaten Halmahera Selatan. Namun wacana yang sekaligus menjadi harapan masyarakat Pulau Obi itu terhenti bahkan mati dalam ruang imajinasi yang kosong dan kini kembali digaungkan sebagai bentuk menjemput peluang dengan dibukanya kran pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Namun untuk berbicara lebih jauh, mari kita mengenal secara bersama kedudukan pulau Obi.
Secara administratif, Pulau Obi berada di wilayah ujung Halmahera Selatan yang berbatasan dengan perairan Maluku (dibagian Selatan) dan Papua (dibagian Timur). Luas wilayah pulau Obi mencapai 3.048 km2, dengan jumlah penduduk sebanyak 52. 588 jiwa (Dukcapil Halmahera Selatan, 2023). Penduduk di kepulauan Obi pada umumnya dikenal beretnis Tobelo, Galela dan Buton, namun juga terdapat pendatang baru dengan etnis berbeda, seperti; Bugis, Jawa, Sanger dan lainnya.
Pulau Obi terbagi kedalam 5 kecamatan dan 34 desa, yang keseluruhannya daerah ini terkenal dengan potensi sumber daya alam yang begitu melimpah dibidang pertanian, sebut saja; cengkeh, pala dan kopra. Selain itu, pulau Obi dikenal sebagai wilayah penghasil pertambangan Nikel dan emas terbesar di Halmahera Selatan. Karenanya, tidak bisa dipungkiri hari ini Pulau Obi dikelilingi oleh perusahaan-perusahaan besar, seperti; PT. Harita Group, PT. Wanatiara Persada dan beberapa investor lainnya.
Sayangnya, ditengah kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah, pemerintah setempat terkesan melihat pulau Obi dengan mata tertutup. Bagaimana tidak, sejak Halmahera Selatan ditetapkan menjadi kabupaten pada Tahun 2003 yang wilayahnya termaksud mencakup pulau Obi, daerah ini dapat dikatakan sangat tertinggal dari segi infrastruktur pembangunan. Jalan, jembatan, akses jaringan komunikasi, air bersih, bahkan pelayanan-pelayanan lainnya semacam pendidikan dan kesehatan jauh dari harapan.
Sederhananya, antara kekayaan pulau Obi dan fakta pembangunannya sangat berbanding terbalik, bagai panggang jauh dari api. Hal ini (kemungkinan) menjadi dalil yang sekaligus melahirkan semangat baru bagi generasi pulau Obi untuk kembali menerobos dan menjemput peluang emas dalam upaya ‘me-merdeka-kan’ pulau Obi dari ketidakpedulian Pemerintah selama ini. Lantas akankah mimpi dan harapan itu terwujud? Semoga!
Tanpa Obi, Ekonomi Halsel?
Ditengah mencuatnya nama pulau Obi yang masuk dalam daftar DOB, ada hal urgent yang mestinya menjadi perhatian pemerintah daerah saat ini. Dimana, pulau Obi sebagai wilayah penghasil sektor pertambangan sangat membantu pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Halmahera Selatan. Apalagi, dari 17 pengelompokan usaha penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), hanya sektor pertambangan dan konstruksi yang memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi di Halsel. Ini akan menjadi ancaman serius bagi daerah Halsel.
Dalam rilisan pers Rustam Ode Nuru, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Selatan, Fraksi Golongan Karya (Golkar), ia membeberkan situasi ekonomi di Halsel yang sangat bergantung pada kehidupan sektor pertambangan, pun konstruksi. Ia bahkan secara lantang menyebut sektor-sektor penyumbang PDRB seperti; pertanian, kehutanan, perikanan, perdagangan, administrasi pemerintahan, transportasi dan gedung, informasi dan komunikasi, mengalami penurunan secara signifikan.
Pernyataan tersebut sekaligus menjadi gambaran dan membenarkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Halsel memiliki ketergantungan yang cukup kuat pada sektor pertambangan. Itu artinya, ancaman kehidupan ekonomi bagi Halsel begitu nampak dan jelas jika pulau Obi berhasil dimekarkan. Berdasarkan data perbandingan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Halmahera Selatan 2020-2024, pertumbuhan ekonomi tahun 2023 sebesar 27,82%, sedangkan pada tahun 2024 di besaran 23,95,%, artinya pertumbuhan ekonomi Halmahera Selatan di tahun 2024 turun 3,87% (Rustam Ode Nuru, Nuansa Malut, 2025).
Jika demikian, maka penulis sedikit berkesimpulan bahwa kondisi Halsel sedang berada dititik nadir. Pada fase ekonomi yang sedang rapuh ini, memberi tanda alarm untuk kita bersiap diri hidup ‘tanpa’ pulau Obi. Karenanya, pemerintah perlu banyak berinovasi dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi pada sektor yang lain, terlebih khusus pada bidang ekonomi kreatif untuk meningkatkan perekonomian di Halsel. Jika tidak, setelah pulau Obi melepas diri, maka kita akan menghadapi kesulitan. Pada fase ini, penulis mengibaratkan “bagai anak ayam yang kehilangan induknya” (*)