Nepotisme di Balik Koperasi Merah Putih: Demokrasi yang Dilumpuhkan

- Penulis Berita

Minggu, 29 Juni 2025 - 08:09 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Jumra Upara – Ketua Bidang Organisasi Himpunan Pelajar Mahasiswa Wainib Kota Ternate

PEMERINTAH pusat telah meluncurkan program besar-besaran dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan melalui pendirian Koperasi Merah Putih di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi, di mana Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan. Melalui koperasi, rakyat diberi ruang untuk bangkit, berdaulat atas ekonominya sendiri, dan tidak lagi bergantung pada sistem kapitalistik yang timpang.

Namun semangat luhur itu justru dinodai oleh praktik kekuasaan yang sempit dan manipulatif di tingkat desa. Ironi ini terjadi di Desa Wainib, Kecamatan Sulabesi Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula. Dalam proses pembentukan pengurus Koperasi Merah Putih di desa kami, Kepala Desa Wainib, Arman Duwila, diduga melakukan pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dan demokrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Informasi yang kami dapatkan dari warga desa menyebutkan bahwa tidak pernah ada Musyawarah Desa Khusus (Musdessus) yang melibatkan masyarakat secara luas dalam menentukan struktur kepengurusan koperasi. Rapat yang digelar pada 2 Juni 2025 di Kantor Desa Wainib hanyalah formalitas. Nama-nama pengurus telah ditentukan lebih dulu oleh kepala desa, tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan dari masyarakat. Bahkan, beberapa orang yang namanya dimasukkan sebagai pengurus tidak pernah dikonfirmasi terlebih dahulu oleh pihak desa. Nama mereka dipakai begitu saja, seolah milik pribadi kepala desa.

Yang lebih menyedihkan, hampir seluruh struktur inti koperasi ketua, sekretaris, hingga bendahara adalah keluarga dekat kepala desa sendiri. Hubungan darah itu jelas melanggar aturan resmi yang telah ditetapkan dalam Permenkop No. 01 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa dalam susunan pengurus dan pengawas koperasi tidak boleh ada ikatan keluarga sedarah maupun semenda sampai derajat pertama. Larangan itu dibuat bukan tanpa alasan. Ia bertujuan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan dan konflik kepentingan yang berbahaya bagi lembaga koperasi yang notabene milik rakyat.

Sebagai anak muda desa, penulis merasa sangat kecewa dengan cara kerja seperti ini. Ketika koperasi yang seharusnya menjadi ruang pemberdayaan rakyat justru dirampas dan dikendalikan oleh segelintir elit desa, maka yang terjadi bukan lagi pemberdayaan, tetapi perampokan hak kolektif secara sistematis. Kepala desa seharusnya menjadi pengayom dan pengarah, bukan pelaku dominasi tunggal yang mengatur segalanya berdasarkan hubungan darah dan loyalitas buta.

Koperasi Merah Putih adalah proyek nasional yang membawa harapan besar bagi kemandirian ekonomi desa. Tetapi harapan itu hanya akan jadi slogan kosong jika di lapangan terjadi praktik-praktik otoriter yang menutup ruang partisipasi rakyat. Demokrasi desa tidak boleh dibungkam. Apapun alasannya, pengambilan keputusan di tingkat desa harus dibangun di atas pondasi keterbukaan, kejujuran, dan kebersamaan. Jika nilai-nilai ini dikorbankan demi ambisi dan jaringan keluarga, maka koperasi tidak akan pernah menjadi milik rakyat, melainkan hanya instrumen kuasa yang memperkaya keluarga penguasa lokal.

Hemat penulis Apa yang terjadi di Desa Wainib hari ini bukan sekadar soal prosedur. Ini soal penghinaan terhadap martabat masyarakat. Ini soal masa depan demokrasi desa yang sedang dilumpuhkan secara diam-diam oleh tangan-tangan yang seharusnya mengayomi.

Penulis menulis ini bukan karena benci, tapi karena penulis merasa peduli. Cinta terhadap tanah kelahiran yang layak mendapatkan pemimpin yang adil dan bijaksana. Cinta terhadap masyarakat desa yang pantas mendapat ruang untuk bicara dan menentukan nasibnya sendiri. Dan cinta terhadap nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi darah dari setiap lembaga yang ada di desa.

Kepala Desa Wainib harus mengakui kekeliruannya. Proses pembentukan pengurus koperasi harus diulang secara terbuka, demokratis, dan melibatkan seluruh masyarakat. Pemerintah daerah pun tidak boleh tinggal diam. Desa Wainib tidak boleh menjadi ladang eksperimen kekuasaan keluarga. Wainib harus berdiri sebagai desa yang demokratis, transparan, dan berpihak pada rakyat. Dan perjuangan ke arah itu harus dimulai dari sekarang. Akhir kata, Dzikir Pikir Amal Soleh. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

“Balas Pantun” DOB Sofifi
Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Romantisme Yang Tewas di Balik Meja Rapat
MANTAP: Inovasi Pelayanan Publik dari Pinggiran Negeri
Berita ini 118 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:31 WIT

Telkomsel Gelar “Temu Outlet” di Bacan, Bahas Jaringan dan Inovasi Layanan

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:08 WIT

Demokrasi Desa: Retorika atau Kenyataan

Kamis, 10 Juli 2025 - 13:45 WIT

Pengembangan Pendidikan di Maluku Utara

Jumat, 27 Juni 2025 - 15:52 WIT

Konsultasi Publik PDAM Halmahera Selatan,Pada Warga Obi: Soleman Bobote Menjelaskan Tarif Air Lewat Aplikasi Digital Atau PASS Sistem

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:30 WIT

Kepedulian Harita Nickel di Tengah Cuaca Ekstrem, Bantu Pangan, Air Bersih, dan Layanan Kesehatan

Kamis, 22 Mei 2025 - 06:41 WIT

PHI Gelar Sidang Perdana, Kuasa Hukum Pekerja Soroti Proses PHK Sepihak PT Wanatiara Persada

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:43 WIT

Atap Bocor, Proses Belajar di TK Al-Khairaat Gorua Terganggu

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:35 WIT

Dana BPNT Diduga Dirampok, Warga Obi Tuntut Felista Kokiroba Diproses Hukum

Berita Terbaru

Daerah

ASN Diduga Abaikan Surat Penarikan Pemkab Pulau Morotai

Sabtu, 9 Agu 2025 - 13:07 WIT