Oleh : Mursid Puko – Kaders GP Ansor Maluku Utara
MALUKU Utara sangat memprihatinkan, tidak ada pulau yang benar-benar terbebas dari aktifitas tambang. Disetiap tanah Maluku Utara yang menyimpan sumber daya mineral mulai dipetakan karena dihitung berapa nominal nilai keuangannya yang nantinya dimasukkan didalam skema besar eksploitasi nasional. Mulai dari Hutan, gunung, pesisir, hingga laut, jadi sasaran investasi atas nama pembangunan yang dimana itu sudah mencemari sumber air dan udara. Ini sudah mulai mencerminkan bukan hanya aktifitas ekspansi industri tambang tetapi juga tingkat perampasan ruang hidup yang berlangsung secara sistematis. Izin-izin pertambangan mencaplok lahan masyarakat adat, bahkan kehadiran tambang justru menimbulkan pada penggusuran paksa tanah adat
Bukan hanya sebatas di situ saja, operasi tambang sangat berdampak pada luas kawasan hutan. Perusakan kawasan hutan ini menjadi kehilangan tutupan hutan sehingga sangat rentan banjir, longsor, serta kerusakan ekosistem disetiap musim hujan. Hutan yang dulu seharusnya berfungsi sebagai wilayah resapan air, sekarang telah berubah menjadi lahan terbuka yang tidak mampu menahan curah hujan tinggi. Akibatnya, desa-desa dilingkar tambang dan dataran rendah menjadi korban bencana berulang-ulang, dan masyarakat terpaksa menanggung dampak dari kebijakan yang memihak industri. Situasi ini, terjadi di hampir seluruh wilayah operasi tambang, mulai dari Halmahera, Morowali, Konawe.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ekspansi tambang terus melaju bukan hanya menggerus hutan dan ruang hidup, justru menyebabkan bencana serta juga memicu ledakan konflik agraria yang makin tajam. Kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek ekstraktif, tidak terlepas dari peran aktif aparat keamanan negara baik Polri maupun TNI yang kerap menjadi alat penjaga kepentingan investasi dan pembangunan versi negara. Hukum sejak awal tidak untuk melindungi rakyat, melainkan menjadi alat kekuasaan untuk mematikan resistensi dan melanggengkan dominasi negara korporasi. Situasi ini tentu bukan kebetulan, melainkan pola sistematis dan memperlihatkan bagaimana politik, hukum, dan ekstraktivisme beroperasi sebagai satu kesatuan. Setiap proyek ekstraktif selalu menciptakan apa yang Naomi Klein sebut sebagai sacrifice zones wilayah-wilayah yang sengaja dikorbankan demi akumulasi keuntungan segelintir elite dan korporasi.
Dalam konteks ini, Jeffrey Winters menceritakan dalam bukunya yang berjudul Oligarchy (2011) menyebut bahwa oligarki bukan hanya sekadar soal kepemilikan kekayaan tetapi tentang kekuasaan untuk melindungi kekayaan melalui kontrol atas negara. Pemilu menurut Winters, menjadi satu mekanisme penting bagi oligarki untuk memastikan bahwa negara tetap bekerja untuk melayani dan menjaga kepentingan mereka.
Indonesia telah bergeser jauh dari sekadar perdebatan ide dan program kerja dan kini telah menjadi konsolidasi modal dan kuasa, seperti yang kita ketahui saat ini dimana sektor-sektor ekonomi strategis, terutama pertambangan telah menjadi ajang rebutan utama elite politik dan oligarki. Seperti yang dikatakan oleh Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), pasca Orde Baru demokrasi di Indonesia bukan membubarkan oligarki lama, justru membuka jalan untuk konsolidasi antara elite politik dan elite bisnis menjadi simpul-simpul strategis bagi para kepentingan bisnis dan kekuasaan. Karena sektor tambang karakteristiknya yang padat modal, padat teknologi, berisiko tinggi, namun sangat menguntungkan sehingga menjadi simpul strategis di mana kepentingan bisnis dan kekuasaan menjalin hubungan dengan secara erat.
Semangat membakar api perlawanan harus dibangun dari bawah, dari kampung-ampung yang terampas, dari sungai-sungai yang tercemar. Kalau negara dan pasar telah berpihak pada tambang, maka suara rakyat dari kampung-kampunglah yang harus kita dengarkan dan bela. Sebab, kekuasaan oligarki bertahan bukan hanya semata-mata karena kekayaan tetapi karena kemampuan membentuk dan mengendalikan institusi politik. Seperti yang diingatkan oleh Jeffrey Winters bahwa negara tidak netral, melainkan menjadi alat yang efektif agar memastikan bahwa kekayaan alam terus-menerus di eksploitasi tanpa ada hambatan sosial maupun politik.
Maka, terus nyalakan api perlawanan karena di tengah ketiadaan keberpihakan elit, rakyat tak punya pilihan lain selain bertahan. Perlawanan terhadap ekstraktivisme adalah perlawanan untuk hidup, untuk air bersih, untuk ruang hidup yang adil dan lestari. Karena negara absen, maka sudah saatnya warga yang harus membentuk bentengnya sendiri. Perlawanan warga terhadap tambang bukan hanya sekadar soal konflik lokal, melainkan upaya untuk menyelamatkan masa depan ekologis bangsa serta anak, cucu di masa mendatang. Seperti yang dikatakan David Harvey, bentuk-bentuk baru akumulasi kapital selalu menciptakan “accumulation by dispossession” perampasan hak dan ruang hidup untuk keuntungan segelintir.
Sebagaimana juga yang dikatakan Naomi Klein dalam This Changes Everything (2014), perjuangan melawan ekstraktivisme adalah perjuangan untuk masa depan bersama, masa depan yang tidak bisa dibangun di atas kehancuran ekologi dan penderitaan manusia. (*)