Oleh: Tendri Rudin – Pegiat Literasi Sahabat Nulis.
DI Maluku Utara menjadi tempat perampokan yang dilegalkan. Di bawah tanahnya terkandung nikel, emas, dan logam strategis yang kini menjadi rebutan raksasa industri. Tetapi kekayaan tak pernah menyentuh tangan rakyat. Yang diterima hanyalah debu tambang, air tercemar, hutan yang lenyap, dan hidup yang makin sempit.
wilayah Halmahera, Obi, telah berubah menjadi kawasan tambang raksasa. Alat berat menggusur tanah ada , Limbah meracuni sungai dan laut, Negara berdiri di barisan depan sebagai penyedia izin, penjamin investor, dan pengabaian jeritan masyarakat lokal. Pembangunan didorong atas nama pertumbuhan ekonomi dan transisi energi hijau tetapi siapa yang tumbuh?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga di sekitar tambang hidup dalam ketidakpastian,Mereka yang dahulu hidup dari laut dan ladang, kini bergantung pada buruh tambang kontrak dengan upah rendah, tanpa jaminan, tanpa perlindungan. Nelayan kehilangan ikan karena laut tercemar limbah. Petani kehilangan tanah karena digusur tanpa ganti untung. Perempuan dan anak-anak kehilangan sumber air bersih karena sungai telah berubah warna dan bau. Lalu ketika mereka bersuara, yang datang bukan keadilan melainkan intimidasi, aparat, dan ancaman kriminalisasi.
Inilah wajah para kolonialisme. kekayaan alam disedot habis, rakyat menjadi korban, dan semuanya dibungkus dalam retorika pembangunan nasional. Korporasi asing dan lokal mengeruk laba, pejabat menuai rente, sementara rakyat Maluku Utara tak mendapat apa-apa selain luka dan kemiskinan. Inilah pembangunan yang timpang, dan negara menjadi aktor utama di balik ketimpangan itu.
Statistik ekonomi boleh berbicara tentang pertumbuhan tinggi, tetapi itu adalah pertumbuhan yang menyisakan kuburan harapan rakyat. Tak ada keadilan dalam pertambangan yang membunuh ruang hidup. Tak ada masa depan dalam ekonomi yang dibangun di atas reruntuhan kedaulatan rakyat. Kita sedang menyaksikan perampokan terang-terangan, dengan stempel legal dan iringan pidato pejabat.
Jika para pemimpin masih punya nurani, maka tambang-tambang ini harus dihentikan, dievaluasi total, dan dikembalikan fungsinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan hanya para pemilik modal. Tapi jika tidak, maka sejarah akan menulis bahwa Maluku Utara adalah tanah kaya yang dibiarkan hancur demi kepentingan segelintir elit. Dan rakyatnya Dibiarkan merana, ditindas, dan dilupakan di negeri sendiri. (*)