Halmahera Selatan, Nalarsatu.com – Praktisi hukum Bambang Joisangadji S.H menegaskan bahwa dua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, tidak dapat diselesaikan melalui mediasi atau jalan damai. Ia menyebut kedua perkara itu sebagai delik biasa yang wajib ditangani melalui proses hukum pidana, bukan melalui pendekatan kekeluargaan.
“Ini kejahatan serius. Tidak boleh ada ruang damai, apalagi dimediasi aparat. Itu bukan saja keliru secara etik, tapi juga bertentangan dengan hukum,” ujar Bambang kepada Nalarsatu.com, Jumat (11/7).
Kasus pertama melibatkan pemerkosaan terhadap seorang siswi SMK di Obi oleh enam orang pelaku. Ayah korban mengaku diundang ke Polsek Obi untuk menghadiri mediasi yang dihadiri keluarga pelaku dan sejumlah aparat. Pertemuan itu diduga bertujuan menyelesaikan kasus secara kekeluargaan sesuatu yang ditolak keras oleh pihak keluarga korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus kedua adalah dugaan pencabulan sesama jenis terhadap tiga siswa oleh seorang oknum guru kesiswaan di salah satu SMA Negeri di Kecamatan Obi. Meski kasus ini telah dilaporkan 11 November 2024, hingga kini belum ada penetapan tersangka.
“Kedua kasus ini harus menjadi peringatan. Penyelesaian di luar jalur hukum dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak adalah pelanggaran serius. Pelaku aparat maupun guru tidak bisa bersembunyi di balik istilah damai,” tegas Bambang.
Bambang merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menyatakan bahwa kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar peradilan, kecuali jika pelakunya anak-anak.
Ia juga mengutip Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU TPKS, yang menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak, baik berupa persetubuhan maupun pencabulan fisik, adalah delik biasa. Artinya, penegak hukum wajib memproses perkara meski tanpa laporan resmi dari korban.
“Polisi tidak bisa menunggu laporan. Begitu ada informasi valid, wajib hukumnya ditindaklanjuti. Jika dibiarkan atau dimediasi, institusi berpotensi melanggar hukum,” katanya.
Menurut Bambang, pelaku dalam kedua kasus tersebut dapat dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang mengatur ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Hukuman dapat diperberat sepertiganya jika pelaku adalah pihak yang memiliki relasi kuasa terhadap anak, seperti guru, aparat, atau keluarga dekat.
“Guru itu pendidik, bukan pemangsa. Ketika pelaku adalah orang yang dipercaya mengasuh anak, maka hukum harus lebih keras. Negara tidak boleh kompromi,” tegasnya.
Bambang menegaskan bahwa keadilan dalam kasus kekerasan seksual tidak hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga memastikan seluruh proses hukum berlangsung transparan, akuntabel, dan bebas dari negosiasi atau tekanan politik.
“Penegakan hukum bukan hanya soal vonis. Tapi bagaimana prosesnya dijaga dari awal agar bersih dan tidak dikompromikan. Dalam kasus anak, negara wajib hadir penuh,” pungkasnya.