Oleh: Riski Ikra* – Pegiat literasi Sahabat_Nulis
DI Halmahera Tengah, rumah layak huni tak lagi dimaknai sebagai hak dasar warga negara, melainkan telah menjelma menjadi hadiah politik yang hanya dibagikan kepada mereka yang “berjasa” saat Pilkada. Proyek yang seharusnya dilandasi oleh asas keadilan sosial justru dikunci oleh logika transaksional. “karena ngana pilih pasaya kemarin” bukan sekadar ungkapan seloroh, akan tetapi sekarang menjadi kunci distribusi bantuan, menyulap kebijakan publik menjadi ajang balas jasa kekuasaan.
Padahal, secara normatif, tempat tinggal layak huni bukan hanya bangunan fisik yang meneduhi tubuh dari panas serta hujan. ia adalah simbol peradaban, martabat, serta jaminan konstitusional yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara. UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) menegaskan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” ketika rumah menjadi hak dasar ini hanya diberikan kepada mereka yang tunduk pada kehendak politik penguasa, maka yang dilukai bukan hanya keadilan, tapi juga nilai luhur demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Infrastruktur Pembagunan merupakan jantung kemajuan dari suatu daerah. dan tentu jelas rakyat tidak menuntut rumah megah atau kemewahan yang tak masuk akal. Mereka hanya ingin tempat tinggal yang kokoh dari tiupan angin malam dan guyuran hujan tropis. namun ketika proyek pembangunan akhirnya dijalankan, makna kehadirannya berubah total. bantuan yang datang bukan karena kebutuhan, tetapi karena kedekatan politik. Mereka yang berada di lingkaran pemenang Pilkada mendapat prioritas. sementara yang tak ikut bersorak di panggung kampanye, cukup menonton dari balik jendela reyot.
Inilah wajah gelap dari politik lokal kita: proyek rumah masyarakat dijadikan komoditas kekuasaan. Dikelola oleh kelompok yang berdiri di balik tirai politik, proyek-proyek bantuan sosial tidak lagi menyasar warga miskin secara objektif, melainkan mereka yang berjasa memenangkan suara. di daerah seperti Pulau Gede, khususnya Desa Umyal, praktik manipulatif berlangsung tanpa tedeng aling-aling. Material bangunan diambil dari milik warga: batu, pasir, hingga kayu. sehabis pembangunan rumah layak huni selesai, pelaksana proyek pergi tanpa jejak dan tanpa ganti rugi atas bahan material yang di gunakan. Negara seolah hadir, akan tetapi hanya lewat papan nama proyek. Tanggung jawab? Menguap.
tak hanya itu, politik balas budi menyusup jauh ke dalam struktur kekuasaan desa. di Desa Bilifitu dan pemekaran barunya, Desa Santosa, kita melihat bagaimana jabatan Pj kepala desa dipolitisasi secara terang-terangan. Semula dijabat oleh tokoh lokal yang mengenal denyut sosial warganya, jabatan tersebut lalu digeser oleh orang luar yang dinilai “berjasa secara politik.” Bukan karena kapasitas, bukan pula karena integritas, melainkan semata karena loyalitas kepada pemenang Pilkada.
Pengangkatan perangkat desa pun kini tidak lagi melalui proses objektif dan profesional. Ukurannya sederhana dan memalukan: “dia orang kita.” Maka desa pun berubah fungsi bukan sebagai ruang pelayanan masyarakat, tapi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan lokal. di titik inilah kegelapan itu berakar. Bukan karena lampu mati, tapi karena nilai-nilai integritas serta keadilan sosial telah sengaja dipadamkan.
Bila kita gunakan lensa teori Pierre Bourdieu (1930-2002), tentang habitus dan kekuasaan simbolik, maka struktur sosial di desa-desa Halteng telah dibentuk oleh relasi kuasa yang berbasis kedekatan simbolik, bukan kompetensi rasional. Mereka yang ikut bernyanyi di panggung kampanye lebih cepat naik sebagai elite lokal, mengendalikan akses atas proyek dan sumber daya. Ini bukan sekadar cacat sistemik, melainkan rekayasa sosial yang melestarikan ketimpangan.
dalam pandangan Anthony Giddens (1938) tentang teori strukturasi, struktur desa yang terlihat netral pada dasarnya direproduksi setiap hari oleh tindakan para aktor yang telah terkondisikan oleh kepentingan politik. warga yang berbeda pilihan, yang kritis, atau yang tak punya afiliasi dengan elite desa, disingkirkan secara sistematis. Mereka tidak masuk dalam musyawarah, tidak tahu prosedur pendataan, bahkan tidak diberi ruang untuk menyampaikan keberatan.
Apa yang terjadi di Halmahera Tengah hari ini bukan sekadar keterlambatan pembangunan, akan tetapi pengkhianatan terhadap prinsip dasar kebangsaan. Proyek yang seharusnya membebaskan rakyat dari kemiskinan justru menjadi alat untuk menjerat mereka dalam pengaruh politik transaksional. Uang negara yang berasal dari keringat rakyat digunakan untuk membayar utang politik, bukan untuk menunaikan tanggung jawab negara.
Penulis melihat ini bukan demi polemik, tapi karena kenyataan di lapangan terlalu telanjang untuk didiamkan. di balik dinding rumah yang tak kunjung berdiri, ada harapan yang patah. di balik papan proyek yang mencolok, ada suara warga yang dibungkam. dan di balik kekuasaan yang terus dipelihara, ada keadilan yang terus dikorbankan.
Bila praktik ini terus dibiarkan, demokrasi desa akan mati perlahan. dan dari puing-puing kematiannya akan tumbuh oligarki kecil yang menghisap hak rakyat untuk melanggengkan kuasa. Maka sudah saatnya kita buka kacamata gelap itu. sebab gelapnya bukan di malam hari, melainkan dalam cara kita memandang rakyat: bukan menjadi insan yang punya hak, tapi menjadi alat politik belaka.
rumah bukan soal siapa yang memilih siapa. rumah adalah hak, dan setiap warga desa berhak tinggal pada daerah yang layak tanpa harus menjual suaranya, tanpa harus tunduk di tirani lokal. (*)