Oleh : Chrisvanus Th Lahu* – Ketua GMKI Cabang Ternate
ADA perenungan panjang dari setiap sistem di negeri kita. Ketika melihat mereka yang memiliki kemampuan, tak mampu bersaing dengan yang memiliki kedekatan emosional dengan yang pegang kuasa. Kita seakan cemas melihat orang – orang yang punya kompetensi malah sulit mendapatkan pekerjaan karena tak punya keluarga pejabat atau HRD. Ini bukan tentang modal sosial atau siapa yang paling banyak memiliki relasi, tapi tentang kompetensi yang diabaikan, proses yang tidak mendapat penghargaan, serta kekuasaan yang tidak memberi ruang profesional untuk merekrut orang lain. Jika anda berpikir bahwa sistem seperti ini sangat keliru, maka ada kesamaan dan kegelisahan yang dialami mayoritas orang saat ini. Praktik buruk yang terus dipelihara mengakar dan terbentuk stigma negatif akibat proses yang salah.
Padahal jauh sebelumnya di abad ke 4 SM, Plato telah memimpikan sebuah negara ideal yang diisi oleh kaum pemikir yang memerintah dengan kebijaksanaan agar tercapai nya sebuah keadilan. Kira kira demikian konsepnya yang di tuliskan dalam karya monumentalnya “Republik”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi buruk ini juga telah lama di kritisi oleh Michael Young dalam gagasan besarnya berjudul “The Rise of the Meritocracy” (1958). Dalam pandangannya, konsep merit yaitu mengutamakan IQ dan effort untuk mencapai suatu posisi. Karena konsep penalaran atau analisis serta usaha yang keras dari seseorang menjadi penting dalam pengambilan keputusan saat dalam dunia pekerjaan. Maka Young tidak menempatkan kedekatan emosional, keluarga atau politik transaksional sebagai indikator dalam melakukan seleksi pada lembaga atau organisasi manapun.
Sebelum jauh kita mengulas tentang sistem ini, mari kita mengenal arti “Meritrokasi” secara sederhana. “Meritokrasi merupakan sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan”(Wikipedia). Sebuah definisi yang secara tegas memberikan ruang pada orang yang memiliki kemampuan serta kritik keras pada sistem seleksi yang berdasarkan kedekatan emosional tanpa mempertimbangkan kompetensi.
Sukidi (2023) dalam artikelnya di Kompas berjudul “Meritokrasi untuk Republik” menarasikan bagaimana negara – negara maju memiliki jiwa konsisten yang sangat kuat dalam menerapkan sistem meritokrasi. Singapura sangat memperhatikan hal kecil ini yang membuatnya menjadi negara maju walaupun besarnya hanya seluas kota samarinda atau sekitar 721,5 km². Lanjut dalam tulisan beliau, Amerika dan Singapura pernah ada dalam tradisi “Kakistokrasi” yaitu bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang paling tidak memenuhi syarat, tidak kompeten, atau paling tidak bermoral. Dalam proses yang panjang dan konsisten, mereka mampu mengubah kondisi 180 derajat ke sistem yang lebih baik dan profesional. Inti dari tulisan sederhana pak Sukidi, adalah negara kita jangan terus menerus ada dalam politik transaksional, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan dan lainnya walaupun faktanya sangat sulit untuk diubah.
Dua puluh tahun lagi Indonesia memasuki seratus tahun usia kemerdekaan atau dikenal dengan “Indonesia Emas”. Tahun 2045 jika melihat mimpi Henri Manampiring dalam novelnya berjudul “Hitam 2045”, saat itu harusnya indonesia telah jadi negara maju dengan seluruh system yang terintegrasi dan hidup dengan kecanggihan teknologinya. Memiliki sistem pemerintahan yang profesional dan mengacu pada proses dan kemampuan setiap orang. Sayangnya di tahun ini, kita belum melihat tanda-tanda itu.
Lantas apa hubungannya dengan sistem meritrokasi yang di impikan banyak negara maju? Kita sangat perlu sebuah iklim kerja yang profesional, bekerja berdasarkan skill serta perekrutan yang bersih dari nepotisme di seluruh lini organisasi baik swasta, pemerintah, sampai pada organisasi masyarakat dan organisasi kemahasiswaan jika ingin indonesia menjadi negara maju dua puluh tahun lagi.
Menatap fakta penerapan sistem meritokrasi
Tak perlu menutup fakta bahwa negara ini masih menutup rapat rapat sistem meritokrasi, terutama dalam lingkup institusi pemerintah. Baru beberapa waktu lalu seleksi duta besar serta beberapa komisaris yang direkrut adalah orang dekat kekuasaan dan eks tim pemenangan dalam kontestasi politik tahun 2024. Tentu ini bukan fenomena baru, karena tradisi ini sudah sekian kali dilakukan dan terus dipelihara hingga bertumbuh subur di indonesia.
Lantas bagaimana dengan maluku utara, provinsi terbahagia yang sementara kita tinggali ini? Saya agak tergelitik melihat isu isu hangat di beberapa media terutama dalam seleksi PPPK dimana istri pejabat yang tidak pernah jadi honor lolos seleksi PPPK, belum lagi penunjukan OPD yang memang tidak sesuai dengan kompetensi, karena terkesan melunasi beban politik. Serta perilaku titip menitip nama untuk sebuah pembagian “Kue kekuasaan” bukan hal lazim yang kita lihat.
Miris ? bisa dikatakan demikian. Tapi bukan sampai disitu esensi tulisan ini dibuat.
Mari kita ulas lebih dalam, secara praktis bagaimana “Karistokrasi” masih sangat mengakar kuat hingga menjadi tradisi di negeri kita ini. Yudha pradana (2025) memetakan beberapa indikator penting sulitnya penerapan meritokrasi di indonesia. Pertama, Itervensi politik yang begitu kuat, keterbatasan sumber daya manusia, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di negeri kita.
Tepat apa yang diutarakan oleh Yudha Pradana terutama soal intervensi politik. Fenomena ini sulit untuk diubah karena seperti jaring laba-laba, semua sistem saling berkaitan dan sulit dihentikan. Politik balas budi, pendekatam emosional dan kekeluargaan dalam perekrutan di lingkup pemerintahan maupun swasta menjadi tren kita saat ini sehingga mengabaikan kualitas sumber daya manusia yang mungkin dimiliki seseorang namun tidak memiliki relasi erat dengan penguasa, atau orang yang merekrut. Selain itu, kualitas sumber daya manusia juga menjadi penting diperbaiki, meningkatkan soft skill serta kompetensi tapi tidak juga melegitimasi praktik nepotisme dengan alasan keterbatasan Sumber Daya Manusia kita. Sederhananya, mencari yang paling sedikit kekurangannya. Selain itu lemahnya pengawasan serta penegakan hukum yang sampai saat ini belum teratasi, membuat penyelewengan semakin menjadi jadi dan sulit terkontrol.
Lantas apa yang bisa diupayaka untuk sedikit memberi ruang agar meritokrasi tidak mati ditengah gempuran nepotisme yang tak ada habisnya ?
Meminjam kata dari Gail Sheeny seorang jurnalis di amerika, “Jika kita tidak berubah, kita tidak tumbuh. Jika kita tidak tumbuh, kita tidak benar-benar hidup.” Tentu membuat perubahan pada suatu sistem yang telah lama mengakar tidak semudah mencari madu ditengah kumpulan sarang lebah. Namun sesuatu yang keliru tak bisa terus didiamkan, karena bisa diklaim sebagai kebenaran.
Membuat sistem “meritokrasi” yang berkelanjutan, merupakan langkah panjang dimulai dari konsistensi mengubah sistem seleksi yang profesional berbasis kompetensi yang teruji. Tentu tidak mudah di lakukan tanpa pengawasan serta penegakan hukum yang ketat serta mampu memberikan sangsi tegas terhadap pelaku nepotisme. Meski sulit melakukan perubahan apalagi secara instan, tetapi usaha yang baik adalah melakukan hal perubahan bahkan dengan langkah terkecil sekalipun. Meminjam sebuah adagium “Kejahatan akan menang jika orang baik tidak melakukan apa – apa” (*)