Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris

- Penulis Berita

Selasa, 22 Juli 2025 - 15:20 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Riski Ikra* – Ketua Umum HPMB Malut

Pulau Gebe adalah cermin dari ribuan pulau kecil di Indonesia yang kian kehilangan daya hidupnya. Setelah berpikir-pikir, ternyata dungu juga negara ini.”

SETELAH tepuk tangan dan ucapan apresiasi dari sala satu anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, dr. Haryadi Ahmad, terhadap komitmen PT. Smart Marsindo pada bidang pendidikan, muncul satu catatan serius yang tak bisa diabaikan, apakah komitmen itu layak dielu-elukan Jika dibangun di atas kerusakan ekologis yang sengaja disembunyikan?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

fakta-fakta kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang ilegal di Pulau Gebe terlalu gamblang untuk ditutupi dengan slogan “peduli pendidikan”. Ruang hidup petani terus tergerus, lahan-lahan mereka direbut oleh korporasi yang beroperasi tanpa izin yang sah, sementara negara seolah menutup mata. Ironisnya, apresiasi malah disampaikan di ruang publik tanpa melihat akar persoalan yang lebih genting: ruang produksi petani dirampas, sementara pelabuhan ilegal (jetty tak resmi) digunakan untuk bongkar muat hasil tambang tanpa ada tindakan tegas dari aparat maupun lembaga legislatif.

Pertanyaannya, sampai kapan DPRD hanya menjadi komentator, bukan pengawas yang kritis? Apakah tepuk tangan lebih penting daripada keberpihakan terhadap masyarakat Pulau Gebe yang ruang hidupnya terus dilucuti?

kita harus ingat bahwa Pulau Gebe bukan sekadar gugusan tanah di lautan Maluku Utara. ia adalah rumah bagi ratusan tahun peradaban, penjaga ritual tua, pemilik hutan kelapa, pala, cengkih, dan sagu yang tak tergantikan. namun kini , suara alam Gebe tenggelam dalam deru eskavator dan dusta izin usaha Pertambangan. Satu demi satu, tanah-tanah ulayat dikerat dengan dalih investasi. tiga IUP di Kampung Umera menjadi bukti nyata: ruang hidup dirampas, tanah adat dilanggar, dan sejarah dibungkam dengan tumpukan ore nikel.

di Teluk Smingit, 30 hektar rumpun sagu warisan marga Magpo dan Magimai terendam lumpur tambang. Tradisi berabad-abad yang mengajarkan bahwa sagu bukan hanya makanan, tetapi kehormatan dalam setiap pernikahan adat kini berubah jadi nostalgia. Sagu kini tumang, yang dulu harus hadir dalam lamaran, kini hilang ditelan sedimen. Bahkan daun sagu yang menjadi, bahan dasar anyaman atap rumah, dan kesenian adat ibu-ibu, tak lagi bisa didapat. Tanah adat tak lagi menumbuhkan kehidupan, tapi mengalirkan luka.

kita bisa melihat di mana PT. Bartra Putra Mulia (BPM), perusahaan tambang nikel yang mulai beroperasi sejak 2020, berdiri di atas tanah yang tak pernah dijual. izin tambangnya luas: 1.850 hektar. namun, kepada siapa mereka meminta restu? Bukan pada kepala marga, bukan pula pada adat. masyarakat tidak pernah tahu kapan izin itu keluar. Bahkan lokasi-lokasi sakral yang diwariskan leluhur pun ikut dipaksa pindah. Begitu pula sumber air bersih, mati satu per satu, seperti harapan warga yang dikepung lumpur dan abu tambang.

sementara yang dijanjikan kompensasi, hingga sekarang tak pernah dibayar. PT. BPM hanya menyisakan janji yang basi. di kutip dari media Mongabay sudah perna mengirim surat untuk konfirmasi terkait lahan warga. Hasilnya? Sunyi. diam, seperti perusahaan lain yang biasa tak menjawab suara rakyat. Janji dan pengabaian seolah jadi pola standar operasi perusahaan masuk, mengukur, menjanjikan, lalu menghilang di balik tumpukan ore yang dibawa ke Weda.

Kita tidak sedang bicara tambang dan batangan logam semata. Ini tentang perampasan tanah, perusakan ekosistem, dan pembunuhan budaya secara sistematis. Pulau Gebe, sejak 1968 telah disulap jadi ladang eksploitasi oleh Indeko, PT Antam, hingga sekarang oleh tujuh perusahaan sekaligus, termasuk PT. Mineral Jaya Molagina (MJM) luas konsesi lahan, 914.50 Hektar, dan PT. Aneka Niaga Prima (ANP) luas konsesi, 459.44 Hektar. tapi siapa yang peduli bahwa Pulau Gebe hanya seluas 224 kilometer persegi? Sebagian sudah gundul, sebagian tenggelam oleh air beracun, dan sebagian lainnya berubah jadi lubang penuh lumpur.

Jika kita melihat kembali pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang PWP3K (pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan tenaga Kependidikan Kelautan, Perikanan, Teknologi informasi dan Komunikasi) telah jelas melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil. tapi di Gebe, hukum tampak hanya sebagai dekorasi. Dilanggar tanpa malu. Diputarbalikkan demi industri. Kenapa negara diam? Kenapa bupati bisa keluarkan izin tanpa proses musyawarah ulayat? Apakah suara rakyat sudah terlalu kecil dibanding gemuruh alat berat?

Gebe, dalam bahasa Tidore, yaitu Ge yang berarti di situ dan Be yang berarti di mana. sementara dalam bahasa Gebe, Geb berarti lunas perahu.“di situ di mana?” Pertanyaan itu kini relevan: di mana hukum adat berdiri? di mana negara saat warga kehilangan tanah waris? di mana peradaban ketika kawasan keramat harus pindah karena kontrak tambang?

Jawabannya, entah. Sebagian warga hanya bisa menggantungkan harapan kepada hukum adat yang diturunkan dari sistem Sangaji Kesultanan Tidore. tapi pranata adat yang kuat pun kini ditekan oleh logika investasi. tak ada sertifikat? Maka tanah dianggap liar. tak ada peta digital? Maka ulayat dianggap kosong. Padahal, setiap jengkal tanah di Gebe punya tuan dan sejarah. tapi pemerintah dan korporasi memilih membutakan mata dan menyumpal telinga.

PT. IWIP, yang berada di Lelilef, Weda, digadang menjadi proyek hilirisasi strategis nasional. tapi siapa yang bertanggung jawab atas ore nikel yang ditambang dari pulau-pulau kecil seperti Gebe, Fau, Mabuli, atau Gee? Bukankah hilirisasi semestinya memberi nilai tambah bagi bangsa? Lantas, di mana nilai tambah itu untuk masyarakat adat Gebe? Apakah trauma, kerusakan tanah, dan hilangnya pangan adalah bagian dari manfaat?

Hilirisasi seharusnya bukan pembenaran untuk kolonialisme baru. Industri bukan alasan untuk melanggar konstitusi, mengabaikan Pasal 18B UUD 1945 yang menjamin pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat. Bahkan Komnas HAM menegaskan, meskipun tidak memiliki sertifikat, masyarakat adat berhak atas wilayahnya. Mereka tidak perlu “akta notaris” untuk tanah yang sudah mereka jaga turun-temurun sebelum negara ini lahir.

Pulau Gebe adalah luka kolektif bangsa ini luka karena tanah adat yang diinjak tanpa permisi, hutan yang digunduli tanpa restu, dan suara rakyat yang dikalahkan oleh gemuruh alat berat. ia terluka bukan karena bencana alam, melainkan karena keserakahan yang dilegalkan. ketika perusahaan bisa dengan mudah pergi setelah merampas isi perut bumi, yang tertinggal hanyalah rakyat yang wajib bertahan di atas tanah yang tercemar, tanpa air bersih, tanpa harapan.

Hari ini, Gebe bukan hanya kehilangan sagu, laut, dan pohon keramat tapi juga kehilangan hak. Kehilangan jati diri. Jika negara terus membiarkan ini terjadi, maka jangan heran Jika yang hilang berikutnya adalah kepercayaan rakyat terhadap keadilan.

DPR tidak bisa lagi melihat dari kejauhan dan menilai bahwa komitmen perusahaan layak dipuji hanya karena dalih pendidikan. Dewan perwakilan rakyat (DPR) bukan dewan tepuk tangan atau penerima amplop legitimasi korporasi. ia adalah wakil rakyat yang semestinya bersuara lantang atas tangisan dan penderitaan warga Gebe.

Pulau Gebe tidak butuh basa-basi. ia butuh pemulihan. ia butuh keadilan. Bukan janji di atas kertas, tapi tindakan yang nyata: menghentikan kerusakan, mengembalikan hak adat, dan merestorasi tanah yang telah dirusak. sebab Jika tidak, maka kelapa, cengkih, pala, dan seluruh kekayaan alam Gebe akan tinggal cerita. dan ketika jati diri sebuah pulau lenyap, yang hancur bukan hanya tanahnya, tapi juga martabat bangsa. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

“Balas Pantun” DOB Sofifi
Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Romantisme Yang Tewas di Balik Meja Rapat
MANTAP: Inovasi Pelayanan Publik dari Pinggiran Negeri
Pertambangan dan Nasib Masyarakat Maluku Utara
Berita ini 106 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:31 WIT

Telkomsel Gelar “Temu Outlet” di Bacan, Bahas Jaringan dan Inovasi Layanan

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:08 WIT

Demokrasi Desa: Retorika atau Kenyataan

Kamis, 10 Juli 2025 - 13:45 WIT

Pengembangan Pendidikan di Maluku Utara

Jumat, 27 Juni 2025 - 15:52 WIT

Konsultasi Publik PDAM Halmahera Selatan,Pada Warga Obi: Soleman Bobote Menjelaskan Tarif Air Lewat Aplikasi Digital Atau PASS Sistem

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:30 WIT

Kepedulian Harita Nickel di Tengah Cuaca Ekstrem, Bantu Pangan, Air Bersih, dan Layanan Kesehatan

Kamis, 22 Mei 2025 - 06:41 WIT

PHI Gelar Sidang Perdana, Kuasa Hukum Pekerja Soroti Proses PHK Sepihak PT Wanatiara Persada

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:43 WIT

Atap Bocor, Proses Belajar di TK Al-Khairaat Gorua Terganggu

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:35 WIT

Dana BPNT Diduga Dirampok, Warga Obi Tuntut Felista Kokiroba Diproses Hukum

Berita Terbaru

Daerah

ASN Diduga Abaikan Surat Penarikan Pemkab Pulau Morotai

Sabtu, 9 Agu 2025 - 13:07 WIT