Oleh : Rifaldi Sofyan* – Mahasiswa Desa Ngute-ngute
DIUJUNG pesisir pantai halmahera selatan ada sebuah desa kecil yang terletak di pulau (kayoa) halmahera selatan, desa yang dengan nama unik, lucu, dan bahkan asing di telinga banyak orang. Namun di balik keunikan tersimpan cerita dan makna yang menjadi bagian dari sejarah masyarakat setempat. Desa itu bernama Ngute-ngute, di mana kabut pagi turun perlahan menyelimuti tanaman-tanaman para petani, dan suara kokok ayam menyambut mentari pagi yang enggan terbit cepat. Tapi jangan salah. Ini bukan desa dongeng. Ngute-ngute adalah nyata ada dalam cerita, dan yang terpenting ada dalam benak warganya.
Desa ngute-ngute yang terletak di kecamatan kayoa selatan, kabupaten halmahera selatan, provinsi Maluku utara, bukan sekadar nama. Ia adalah identitas, warisan, dan cerminan budaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan kacamata historis kurang lebih 1920-an para leluhur bersepakat memberi nama desa tersebut dengan bahasa daerah (bahasa galela) ngute-ngute yang artinya tangga-tangga. Hal ini secara geografis dan di lihat dari bentuk desa yang berada di daratan tebing ketika menuju perumahan warga harus menaiki jalan menanjak yang harus di buatkan tangga.
terlalu lama desa- desa seperti ngute-ngute ini hanya menjadi latar cerita nostalgia, di gambarkan tertinggal sebagai desa yang tertinggal, tenang atau bahkan seolah-olah waktu berhenti. Pandangan itu keliru dan bahkan salah kaprah dalam menilai hal itu, sebab ngute-ngute bukan tempat yang diam ia bergerak, ia bertahan. Di tengah arus globalisasi yang kian pesat menyapu dari kota ke pelosok, desa ini berusaha tetap tegak dengan identitasnya sendiri.
Problemnya bukan pada kemiskinan atau ketertinggalan teknologi semata. Tetapi problemnya adalah bagaimana cara kita persepsikan diri untuk memandang desa. Kita menganggap desa sebagai ‘halaman belakang’ pembangunan, bukan sebagai mitra sejajar dalam memajukan bangsa. Warga ngute-ngute mungkin ketertinggalan jaringan internet atau mal bertingkat, tapi mereka punya gotong royong yang kuat dan masih kental, budaya dan tradisi mereka masih di jaga dan lestarikan oleh generasi.
Ngute-ngute bukan cerita dongeng, melainkan cerita nyata yang melekat dan mendarah daging bagi setiap generasi, Dan ketika mereka yang berpendidikan tinggi kembali membawa ilmu, bukan untuk pamer, tapi untuk membangun kampung — di situlah makna sejati dari kata “maju”. Mereka tidak menjadikan Ngute-Ngute sebagai tempat pensiun, bukan juga tempat investasi pertambangan, melainkan sebagai tempat inovasi. Mereka menanam mimpi dari pundak papa yang memikul beban demi sejuta harapan anak-anaknya ini bukan ilusi.
Apa yang tidak terlihat oleh mata kota adalah ketangguhan. Anak-anak sekolah menyeberangi lautan demi menggapai masa depan. Petani tetap bersemangat pergi ke kebun meski harga koprah terus ditekan, Ibu-ibu menabung sedikit demi sedikit, bukan untuk liburan, tapi untuk menyekolahkan anaknya ke kota.
Ngute-Ngute bukan desa dongeng. Di sana listrik kadang padam, sinyal sering menghilang, dan jalan lintas belum semuanya mulus. Tapi kehidupan tidak menunggu fasilitas lengkap untuk berjalan. Warga Ngute-Ngute tetap menanam, tetap bangun pagi, tetap menghidupkan tradisi dan menjaga tanah leluhur. Ini pesan para tetuah yang harus di jaga oleh generasi.
Sudah saatnya paradigma kita berubah. Desa seperti Ngute-Ngute bukan tempat pelarian dari hiruk pikuk kota, tapi tempat di mana masa depan keberlanjutan bisa dibangun — dari pangan, energi, hingga ekowisata. Mereka tidak minta dikasihani. Mereka hanya butuh diakui dan diberi ruang untuk berkembang dengan caranya sendiri.
Ngute-ngute bukan desa dongeng. Ia nyata dan selalu ada di setiap generasi (*)