“Balas Pantun” DOB Sofifi

- Penulis Berita

Jumat, 25 Juli 2025 - 15:45 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Bachtiar S. Malawat* – Jurnalis

KAWAN -kawan, akhir-akhir ini publik maluku utara dikejutkan degan kisruh soal pemekaran daerah otonom baru (DOB) Sofifi kian menyeruak sebagai narasi panas di tengah hiruk pikuk demokrasi lokal Maluku Utara. Gelombang protes penolakan dan dukungan saling bersahutan, mirip pantun politik yang dipaksakan berbalas meski terkadang makna yang terkandung di dalamnya tak pernah tuntas untuk dimengerti. Pertanyaan dasarnya tetaplah merujuk pada satu. Apakah DOB Sofifi adalah solusi yang menjawab problem struktural di Maluku Utara, atau justru jalan pintas yang menyimpan bom waktu ketimpangan baru.

Tulisan ini sebagai bentuk sikap keberpihakan dalam warna-warni konflik yang terjadi menyoal DOB Sofifi, Penulis menyadari bahwa pemekaran wilayah secara historis telah menjadi bagian dari dinamika pembangunan di Indonesia pasca-reformasi. Sejak 1999 hingga 2022, menurut data Kementerian Dalam Negeri, telah terbentuk 223 daerah otonomi baru kabupaten kota dan provinsi yang ada di Indonesia. Namun, pertanyaan mendasar muncul, apakah seluruh DOB itu berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat atau tidak, Studi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Laporan Indeks Pembangunan Daerah Tertinggal (IPDT) menunjukkan lebih dari 80 persen DOB mengalami stagnasi bahkan kemunduran dalam indikator pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sofifi tampaknya hendak digiring pada pola yang sama, yaitu pemekaran tanpa pijakan yang cukup kuat secara budaya, ekonomi, sosial maupun kulturalnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penulis menyadari betul bahwa Sofifi memang menyandang status ibu kota provinsi Maluku Utara secara hukum sejak UU No. 46 Tahun 1999. Namun, hingga dua dekade kemudian, wajahnya lebih mirip kota transisi, bagaikan eksperimen yang dilakukan elit untuk uji coba ketimbang pusat pemerintahan yang jelas. Infrastruktur jalan masih timpang, layanan dasar tidak merata, dan akses transportasi dari wilayah lain sangat terbatas. Menjadikan Sofifi sebagai DOB tanpa mengatasi persoalan mendasar justru akan memperparah beban anggaran provinsi. Data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan, biaya pemekaran satu DOB dapat menelan Rp250 hingga Rp500 miliar per tahun hanya untuk belanja rutin birokrasi. Di tengah defisit fiskal Maluku Utara yang semakin lebar, lantas, dari mana semua ini akan ditutup?

Bagi Penulis, argumentasi budaya juga menjadi hal yang krusial yag perlu dipertimbangkan, namun argumentasi ini kerap dikesampingkan seolah-olah dan seakan-akan. Sofifi berada dalam konteks kultural Kesultanan Tidore, sebuah wilayah yang sejak zaman kolonial memiliki relasi historis dan simbolik dengan kekuasaan tradisional. Maka menjadikan wilayah ini sebagai DOB tanpa melalui proses dialog kultural yang dalam dan matang akan berisiko memicu resistensi dan penghilangan identitas lokal. Budayawan dan sejarawan seperti Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1996) menekankan bahwa “kekuasaan yang memutus akar budayanya sendiri hanya akan menghasilkan kekeringan politik dan konflik yang terselubung”. Penulis beranggapan bahwa apa gunanya pemekaran jika rakyat merasa tercerabut dari nilai-nilai sejarahnya sendiri.

Sebagai anak muda, saya memandang DOB Sofifi bukan sebagai jawaban, melainkan sebagai pengalihan isu dari gagalnya perencanaan pembangunan terpusat. Jika pemerintah benar-benar ingin mengangkat derajat Sofifi sebagai pusat pemerintahan, maka pembenahan sistemik jauh lebih urgen ketimbang pemekaran. Seharusnya perluasan akses pendidikan, penguatan identitas lokal, serta investasi infrastruktur dasar harus menjadi prioritas utama. Pemekaran seharusnya menjadi hasil dari pembangunan yang mulai maju dan siap dari segi apapun, bukan alat untuk membenarkan ketidakmampuan membangun. Ini bukan main domino, menang lalu koco ulang. DOB membutuhkan kesiapan. Jika ada masalah diselesaikan bukan atur hadirkan wacana yang memecah bela masyarakat.

Mari belajar dari pengalaman Papua. Sejak pemekaran DOB seperti Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan, sejumlah laporan termasuk dari Komnas HAM dan LIPI menyebutkan adanya peningkatan konflik horizontal, perebutan sumber daya, dan fragmentasi etnis yang tajam. Hal serupa terjadi di Sulawesi Barat pada awal 2000-an, di mana studi dari Universitas Hasanuddin (2021) menunjukkan bahwa ketimpangan antara kabupaten induk dan DOB justru meningkat 21% dalam lima tahun pertama pasca pemekaran. Lalu, apakah kita ingin Maluku Utara mengulang pola kegagalan yang sama. Coba bapikir bae-bae.

Dari sisi politik, DOB kerap dijadikan proyek elite untuk memperluas kekuasaan dan mengamankan posisi politik jangka panjang. Dalam Decentralization and Democracy in Indonesia (2009), Edward Aspinall menulis bahwa “DOB menjadi alat konsolidasi patronase, bukan distribusi kesejahteraan.” Wacana DOB Sofifi perlu dibaca dengan kacamata itu. Siapa sebenarnya yang diuntungkan, Apakah rakyat di Oba akan merasakan perubahan nyata, atau hanya menjadi penonton.

Ketimpangan wilayah juga semakin nyata ketika kita melihat data BPS 2024. Angka kemiskinan di Halmahera Timur dan Halmahera Selatan masih di atas 19%, sementara angka pengangguran di Kota Ternate dan Tidore naik 4,2% dalam dua tahun terakhir. Bagaimana mungkin provinsi dengan indikator kesejahteraan serendah ini mampu membiayai sebuah DOB baru, Bukankah lebih masuk akal jika kekuatan fiskal dan kelembagaan justru diperkuat dulu di daerah induk.

Budaya sebagai identitas dasar orang Maluku Utara juga tak boleh dikorbankan dalam permainan administratif, itu kesannya kerja raba. Penolakan terhadap DOB Sofifi bukan sekadar urusan anggaran dan infrastruktur, tapi juga refleksi dari ketidaknyamanan sosial yang kian terakumulasi. Hemat penulis pemekaran DOB Sofifi ini terlalu terburu-buru dan tidak melalui musyawarah mufakat, padahal secara filosofis, musyawarah adalah ruh utama dari kearifan lokal Maluku Utara. Jika hari ini pemekaran justru membuat rakyat saling curiga, maka benih konflik horizontal telah ditanam sejak dini. Lantas siapa yang mau bertanggungjawab jika warga sudah saling bunuh-bunuhan. Sekali lagi coba pik ir bae-bae.

Membuka DOB tanpa membangun narasi kebudayaan adalah poyek tanpa jiwa. Itu gila. Apalagi jika hanya dilandasi logika administratif dan ambisi politik jangka pendek. Penolakan yang muncul dari berbagai elemen masyarakat adalah alarm bahwa proses ini tidak inklusif, tidak demokratis, dan tidak menghargai keragaman Maluku Utara. Cukup sudah Haltim dan Halteg menjadi cerminan nyata hari ini setelah mekar menjadi kabupaten banyak investasi masuk dan merusak alam serta masyarakat yag terpecah belah dalam konflik tambang.

Di ujung tulisan ini, Penulis ingin mengajak semua pihak berhenti sejenak dan merenung, apa gunanya jika tidak saling mengerti, bukan saling memahami. Hidup ini bakumengerti saja. Pemekaran bukanlah akhir dari pembangunan, tapi bisa menjadi awal kehancuran jika dipaksakan di atas fondasi yang rapuh. Sofifi bisa dibangun, tapi bukan dengan cara menjadikannya DOB yang cacat sejak dalam wacana. Sofifi harus diperkuat, tidak dengan memisahkannya, tetapi dengan mengakarnya dalam tradisi, budaya, dan pelayanan publik yang bermartabat.

Tulisan ini penulis angkat berdasarkan pada kegelisahan sekaligus sikap tolak DOB dalam melihat ketimpagan dan demonstrasi yang kian memanas kiri kanan antar masyarakat yang pro dan kontra terkait DOB. Mengutip kalimat yang disampaikan oleh Anis Baswedan bahwa ”bagaimana rasanya melihat para elit sibuk membagun istanah megah ditengah ketimpangan rakyat yang menderita”. Sekian, Terimakasih. Suba Jou. Akhir kata, coba pikir bae-bae soal DOB itu. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Romantisme Yang Tewas di Balik Meja Rapat
MANTAP: Inovasi Pelayanan Publik dari Pinggiran Negeri
Pertambangan dan Nasib Masyarakat Maluku Utara
Berita ini 29 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:31 WIT

Telkomsel Gelar “Temu Outlet” di Bacan, Bahas Jaringan dan Inovasi Layanan

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:08 WIT

Demokrasi Desa: Retorika atau Kenyataan

Kamis, 10 Juli 2025 - 13:45 WIT

Pengembangan Pendidikan di Maluku Utara

Jumat, 27 Juni 2025 - 15:52 WIT

Konsultasi Publik PDAM Halmahera Selatan,Pada Warga Obi: Soleman Bobote Menjelaskan Tarif Air Lewat Aplikasi Digital Atau PASS Sistem

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:30 WIT

Kepedulian Harita Nickel di Tengah Cuaca Ekstrem, Bantu Pangan, Air Bersih, dan Layanan Kesehatan

Kamis, 22 Mei 2025 - 06:41 WIT

PHI Gelar Sidang Perdana, Kuasa Hukum Pekerja Soroti Proses PHK Sepihak PT Wanatiara Persada

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:43 WIT

Atap Bocor, Proses Belajar di TK Al-Khairaat Gorua Terganggu

Rabu, 21 Mei 2025 - 11:35 WIT

Dana BPNT Diduga Dirampok, Warga Obi Tuntut Felista Kokiroba Diproses Hukum

Berita Terbaru

Daerah

ASN Diduga Abaikan Surat Penarikan Pemkab Pulau Morotai

Sabtu, 9 Agu 2025 - 13:07 WIT