Oleh: Tendri Rudin* – Pegiat Literasi Sahabat Nulis
DALAM dunia politik Indonesia, desa adalah fondasi utama demokrasi. Digambarkan sebagai ruang paling dekat dengan masyarakat, tempat nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan partisipasi lahir secara alami. Pemerintah pusat mengakui dan memuji desa sebagai garda terdepan demokrasi partisipatif. Namun, benarkah demokrasi desa berjalan sebagaimana idealnya? Atau sekadar menjadi jargon normatif yang jauh dari praktik nyata?
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang besar bagi desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Bahkan dalam Pasal 24 huruf d disebutkan bahwa pemerintahan desa harus berasaskan musyawarah. Ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di desa harus melibatkan masyarakat secara aktif, bukan ditentukan oleh segelintir elit desa atau kepala desa semata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi, praktik di lapangan sering kali tidak sesuai. Banyak keputusan penting baik terkait pembangunan, pengelolaan anggaran, hingga kebijakan sosial masih diambil secara sepihak. Proses musyawarah yang seharusnya terbuka dan partisipatif justru digantikan oleh forum-forum simbolik yang hanya bersifat formalitas. Warga hadir, tapi tidak didengar. Tokoh masyarakat diundang, tapi tidak diajak mempertimbangkan. Rapat desa lebih sering menjadi pengesahan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, bukan ruang deliberasi warga.
Padahal, demokrasi desa bukan hanya tentang pemilihan kepala desa setiap enam tahun sekali. Demokrasi sejati hidup dalam transparansi, pelibatan aktif masyarakat, dan pengambilan keputusan secara bersama-sama. Ketika suara warga tidak diakomodasi, ketika ruang diskusi disempitkan, maka demokrasi desa kehilangan esensinya.
Kepala desa memang diberi mandat melalui pemilihan langsung, tapi mandat itu bukanlah tiket untuk bertindak sewenang-wenang. Kewenangan yang besar justru harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. Sebab desa bukan hanya entitas administratif, melainkan ruang sosial yang sarat dengan sejarah, budaya, dan relasi antarmanusia yang kompleks.
Otonomi desa, seperti yang diamanatkan dalam UU Desa, bukan berarti desa berdiri di luar prinsip-prinsip demokrasi. Justru sebaliknya: otonomi itu harus memperkuat demokrasi di akar rumput, bukan melanggengkan kekuasaan tanpa kontrol. Jika tidak, maka desa hanya akan menjadi miniatur kekuasaan elitis, bukan laboratorium demokrasi seperti yang diidealkan.
Kenyataan di banyak desa menunjukkan adanya gap antara semangat partisipatif yang digariskan dalam regulasi dengan praktik yang berlangsung. Dalam beberapa kasus, kepala desa bahkan lebih berperan sebagai penguasa lokal daripada pelayan masyarakat. Skema pembangunan desa sering kali tersandera oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, sehingga musyawarah hanya menjadi panggung legalitas semu atas kebijakan yang telah disiapkan sebelumnya.
Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah lemahnya kapasitas warga dalam memahami hak dan mekanisme partisipasi. Rendahnya literasi politik di tingkat desa membuat masyarakat mudah menerima status quo, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki hak untuk turut mengawasi, menilai, dan menyuarakan aspirasi dalam proses pembangunan. Ketidaktahuan ini diperparah oleh budaya paternalistik, di mana kepala desa diposisikan sebagai figur yang tidak boleh dikritik, bahkan dianggap ‘penguasa’ mutlak desa.
Ironisnya, dalam konteks seperti itu, demokrasi justru mengalami pembusukan dari dalam. Alih-alih menjadi ruang pemberdayaan, desa dapat berubah menjadi wilayah yang menormalisasi dominasi dan kooptasi. Demokrasi desa yang seharusnya tumbuh dari akar malah terhambat oleh lumpur birokrasi dan feodalisme baru yang membungkus diri dengan bahasa modernisasi dan pembangunan.
Namun, bukan berarti semua desa gagal dalam mewujudkan demokrasi. Beberapa desa telah menunjukkan bahwa partisipasi warga bisa menjadi kekuatan yang nyata. Desa-desa yang membuka ruang musyawarah secara inklusif, menyampaikan laporan keuangan secara transparan, dan mendorong inisiatif dari bawah (bottom-up) membuktikan bahwa demokrasi desa bukan utopia. Dengan tata kelola yang bersih dan pemimpin desa yang visioner, desa dapat menjadi contoh demokrasi lokal yang menginspirasi.
Keberhasilan itu sering ditopang oleh kombinasi faktor: pendidikan politik masyarakat yang baik, keterbukaan informasi, penguatan kapasitas lembaga desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta adanya pendampingan dari organisasi masyarakat sipil yang mendorong akuntabilitas. Dengan kata lain, demokrasi desa bukanlah hasil instan, tapi proses panjang yang membutuhkan komitmen bersama.
Kini saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah demokrasi desa benar-benar hidup dalam praktik, atau hanya menjadi retorika manis dalam dokumen hukum dan sambutan pejabat? Apakah warga desa sungguh memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat, atau hanya menjadi pelengkap dalam panggung yang sudah diatur?
Desa akan kuat bila demokrasi hidup di dalamnya. Musyawarah bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan cara menjaga kepercayaan publik. Jangan biarkan demokrasi desa menjadi ilusi yang dikooptasi oleh kekuasaan, tanpa ruang untuk kritik, keterbukaan, dan partisipasi.
Mari kita jaga desa, bukan hanya sebagai ruang tinggal, tapi sebagai ruang hidup bagi demokrasi yang berpijak pada keadilan, keterlibatan, dan penghargaan terhadap suara setiap warga. Sebab demokrasi sejati tidak lahir dari kekuasaan yang tak terbatas, tapi dari keberanian untuk mendengarkan, membuka ruang, dan membangun bersama. (*)