OBI, Nalarsatu.com – Desas-desus mengenai dugaan kongkalikong antara Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Halmahera Selatan dengan seorang pengusaha tambang kini makin mencuat ke permukaan. Sorotan tajam mengarah pada satu gudang penyimpanan bahan kimia berbahaya milik saudara Niko pengusaha asal luar Obi yang berdiri kokoh di Desa Anggai, Kecamatan Obi.
Gudang yang oleh warga disebut “Gudang CN” itu diduga kuat telah beroperasi secara ilegal selama lebih dari tiga tahun tanpa memenuhi standar teknis dan perizinan sebagaimana diatur dalam regulasi nasional. Ironisnya, Tanda Daftar Resmi (TDR) baru diterbitkan pada Mei 2025. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar soal pengawasan Disperindagkop sebagai otoritas yang seharusnya menertibkan aktivitas perdagangan bahan kimia berbahaya.
Investigasi wartawan langsung ke lokasi mendapati fakta mencengangkan. Di dalam gudang ditemukan lebih dari 30 kaleng sianida, 50 karung kostik, 30 karung karbon aktif, dan 20 jerigen berisi air keras semuanya disimpan tanpa label resmi, tanpa sistem ventilasi memadai, tanpa ruang kedap uap, dan tanpa pengamanan lingkungan yang layak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014, penyimpanan bahan berbahaya wajib memenuhi sejumlah syarat teknis, termasuk sistem ventilasi, pemadam api berbasis bahan kimia, dan petugas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Namun, tidak satu pun dari syarat tersebut ditemukan di Gudang CN.
Kemarahan masyarakat pun menggelora. Warga Desa Anggai dan Sambiki mempertanyakan mengapa gudang itu tetap dibiarkan beroperasi bertahun-tahun, sementara pelaku usaha lokal justru harus menempuh jalan terjal penuh syarat administratif.
“Waktu saya urus izin gudang untuk limbah bahan kimia, pegawai Disperindagkop malah bilang untuk kerja sama saja dengan Pak Niko. Kami orang lokal justru dipersulit, padahal ingin patuh aturan,” ujar seorang warga Sambiki yang enggan disebut namanya Sabtu (2/8).
Suara serupa juga datang dari pengusaha lokal lainnya yang mengaku telah mengalami intimidasi dan pembiaran saat mengurus izin serupa. “Kami ingin usaha legal, tapi justru seolah dianaktirikan. Selalu diminta gabung dengan pengusaha dari luar,” ungkapnya.
Tokoh pemuda Desa Anggai menyayangkan lemahnya respons pemerintah daerah. Ia mengaku, audit dari dinas teknis sudah dilakukan beberapa waktu lalu. Namun hingga kini, tidak ada tindakan nyata.
“Padahal kita semua tahu, bahan-bahan itu sangat berisiko mencemari lingkungan dan membahayakan warga. Tapi nyatanya, gudang itu tetap berdiri tanpa gangguan,” tegasnya.
Lebih dari itu, warga mulai diliputi kekhawatiran akan kemungkinan kebocoran atau kebakaran. Seorang ibu rumah tangga di Anggai berkata, “Kalau terjadi sesuatu, siapa yang tanggung jawab? Jaraknya ke rumah-rumah paling hanya 200 meter.”
Masyarakat juga menyoroti dugaan praktik pungutan liar (pungli) dan perizinan jalur khusus yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Ketiadaan inspeksi rutin serta terbukanya “akses istimewa” kepada pengusaha luar dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat otonomi daerah dan keadilan ekonomi.
Praktisi hukum di Halsel pun angkat bicara. Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan pelanggaran, baik oleh pemilik gudang maupun oleh oknum Disperindagkop. DPRD Halsel juga diminta membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengungkap dugaan penyimpangan sistemik dalam perizinan industri.