Labuha, Nalarsatu.com – Praktisi hukum Bambang Joisangadji, SH, angkat bicara terkait pelantikan empat kepala desa oleh Bupati Halmahera Selatan. Menurutnya, langkah tersebut adalah kekeliruan fatal karena bertentangan dengan putusan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
Bambang menegaskan, empat kepala desa yang dilantik itu sebelumnya telah dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Putusan tersebut menyatakan bahwa proses pemilihan kades bersangkutan cacat prosedur sehingga tidak sah.
“SK mereka sudah dibatalkan oleh PTUN Ambon dengan dasar bahwa pemilihan itu cacat prosedur. Tetapi anehnya, Bupati masih melantik orang yang sama. Ini jelas perbuatan melawan hukum, karena melawan putusan pengadilan,” tegas tambahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bahkan mempertanyakan alasan di balik keputusan Bupati Halsel tetap melantik empat kades tersebut.
“Apakah Bupati melantik atas kesadaran sendiri, atau ada bisikan dari tim-tim tertentu sehingga beliau terpaksa melantik? Karena jelas, putusan PTUN harusnya dipatuhi,” tambahnya.
Bambang menegaskan, putusan PTUN memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009.
Selain itu, Pasal 116 ayat (1) UU PTUN menegaskan bahwa “apabila gugatan dikabulkan, maka putusan pengadilan wajib dilaksanakan oleh pejabat TUN yang bersangkutan.”
Dengan demikian, Bupati Halsel selaku pejabat TUN memiliki kewajiban mutlak untuk tunduk dan melaksanakan putusan PTUN Ambon.
“Putusan PTUN Ambon sifatnya final dan mengikat. Jika Bupati tetap melantik, itu berarti tidak menghormati lembaga peradilan. Ini preseden buruk dan bisa berimplikasi hukum terhadap Bupati sendiri,” ujar Bambang Selasa (26/8).
Menurut Bambang, tindakan Bupati yang tetap melantik empat kades tersebut bisa digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Hal ini juga dapat diperkarakan melalui mekanisme gugatan perdata maupun laporan pidana apabila dianggap sengaja menghalangi eksekusi putusan pengadilan.
Lebih jauh, Pasal 116 ayat (4) UU PTUN memberi ruang bagi penggugat untuk meminta eksekusi paksa melalui Ketua Pengadilan apabila pejabat yang digugat tidak melaksanakan putusan secara sukarela.
“Jika Bupati tetap tidak patuh, masyarakat bisa meminta eksekusi melalui PTUN Ambon. Bahkan dalam praktiknya, pejabat bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana karena mengabaikan putusan pengadilan,” tegas Bambang.
Bambang menilai tindakan ini bukan hanya mengabaikan supremasi hukum, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di Halsel.
“Ini menyangkut kredibilitas pemerintah daerah. Kalau Bupati saja bisa melawan putusan pengadilan, bagaimana masyarakat bisa percaya hukum ditegakkan?” pungkasnya.