Oleh: Maulana MPM Djamal Syah, SH., MH Praktisi Hukum dan Pemerhati Tata Pemerintahan Daerah
Tindakan Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, yang melantik kembali empat kepala desa melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) baru, setelah adanya pembatalan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, bukan sekadar kesalahan administratif melainkan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Langkah tersebut menggambarkan ketidakpatuhan terhadap hukum, sekaligus mencederai prinsip dasar good governance dan melemahkan marwah supremasi hukum (the rule of law) dalam sistem pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan tegas bahwa pejabat pemerintahan dilarang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bertindak sewenang-wenang.
Pelantikan ulang empat kepala desa yang telah dibatalkan oleh pengadilan dengan SK baru, jelas merupakan bentuk tindakan sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.
Dalam konteks hukum administrasi, tindakan ini bahkan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) ketika kekuasaan digunakan tidak sesuai dengan tujuan hukum yang seharusnya.
Pasal 18 ayat (3) UU yang sama mempertegas:
“Tindakan sewenang-wenang adalah tindakan pejabat yang bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Artinya, pelantikan ulang empat kepala desa pada 25 Agustus 2025, setelah adanya putusan PTUN Ambon yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), merupakan bentuk pelanggaran hukum administratif yang nyata dan terang benderang.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, putusan pengadilan wajib dihormati dan dilaksanakan tanpa pengecualian.
Ketika seorang kepala daerah mengabaikan putusan pengadilan, ia secara langsung menabrak asas kepastian hukum, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap kekuasaan kehakiman.
Lebih jauh, tindakan ini juga mengoyak prinsip check and balances antara eksekutif dan yudikatif.
Seolah-olah kekuasaan pemerintahan daerah dapat menegasikan keputusan lembaga peradilan dengan selembar SK baru.
Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan bersifat final, mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh siapa pun termasuk pejabat publik.
Pelanggaran terhadap prinsip ini bukan hanya kesalahan teknis pemerintahan, tetapi merupakan pengingkaran terhadap nilai dasar konstitusional negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 81 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan dengan jelas:
“Pejabat yang terbukti melakukan tindakan sewenang-wenang dapat dijatuhi sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap.”
Ketentuan ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi penegakan tanggung jawab terhadap pejabat yang menggunakan kewenangan secara menyimpang.
Dalam konteks kasus ini, Bupati Halmahera Selatan secara substansial telah memenuhi unsur tindakan sewenang-wenang, sehingga patut dijatuhi sanksi administratif berat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Tindakan semacam ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan daerah.
Dalam teori hukum administrasi negara, wewenang bukanlah hak pribadi pejabat, melainkan amanah publik yang dibatasi oleh norma hukum dan moralitas kekuasaan.
Pejabat publik yang menolak tunduk pada hukum sejatinya telah kehilangan legitimasi etik dan yuridis untuk memimpin.
Pelantikan ulang terhadap pejabat yang telah dibatalkan oleh pengadilan bukan hanya kesalahan administratif, tetapi pengkhianatan terhadap prinsip konstitusional negara hukum.
Di titik ini, krisis kepatuhan terhadap hukum menjadi cerminan dari krisis integritas pejabat publik.
Kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, sebagai pengawas utama penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kementerian perlu memastikan bahwa prinsip supremasi hukum dijalankan secara tegas dan konsisten, tanpa pandang bulu terhadap status atau jabatan.
Penegakan sanksi administratif terhadap tindakan Bupati Halmahera Selatan bukan hanya langkah hukum, tetapi juga langkah moral untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan daerah. Ketaatan pada hukum adalah ukuran tertinggi integritas seorang pejabat publik.
Ketika seorang kepala daerah berani mengabaikan putusan pengadilan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pribadi, tetapi juga sendi-sendi keadilan dan demokrasi lokal.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan individu, sebab hukumlah yang memberi legitimasi pada kekuasaan itu sendiri.