Oleh : Bidan Nunung* Pegawai RSUD Labuha
Nalarsatu.com — Stigma terhadap perempuan pemandu karaoke adalah cermin dari cara pandang masyarakat yang masih sempit dan cenderung menghakimi. Padahal, di balik sorot lampu hiburan dan tawa pengunjung, ada kisah perjuangan perempuan yang bertahan hidup di tengah kerasnya realitas ekonomi dan tekanan hidup yang sering kali tak mereka pilih.
Kita terlalu mudah melabeli mereka dengan sebutan “perempuan malam”, “penggoda”, atau “tidak bermoral”. Padahal, banyak di antara mereka bekerja secara profesional sekadar menghibur, menemani, dan menciptakan suasana menyenangkan bagi pelanggan. Mereka bukan pelaku dosa sosial, melainkan korban dari sistem ekonomi yang timpang dan peluang kerja yang sempit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari itu, tak sedikit perempuan pemandu karaoke yang sebenarnya terdorong oleh persoalan keluarga: rumah tangga yang retak, kekerasan domestik, penelantaran anak, hingga kehilangan figur penopang ekonomi keluarga. Dalam kondisi mental dan ekonomi yang tertekan, sebagian dari mereka akhirnya mengambil jalan pintas bukan karena keinginan, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Ketika pendidikan tidak terjangkau, lapangan kerja layak tertutup, dan masalah keluarga menumpuk tanpa dukungan sosial yang memadai, pilihan hidup mereka menjadi sangat terbatas. Maka yang seharusnya kita lakukan bukan menghakimi, tetapi memahami dan memperjuangkan agar mereka memiliki ruang untuk bangkit dengan cara yang lebih bermartabat.
Masyarakat dan pemerintah daerah harus berhenti menutup mata. Sudah waktunya hadir kebijakan yang berpihak: pelatihan kerja alternatif, pendampingan psikososial bagi perempuan yang terdampak masalah keluarga, akses modal usaha, serta jaminan hukum agar mereka tidak terus diperlakukan sebagai warga kelas dua. Stigma hanya memperdalam luka sosial dan menutup jalan perubahan.
“Menghormati perempuan pemandu karaoke berarti mengakui mereka sebagai manusia yang berjuang, bukan menghakimi pilihan mereka.”
Mereka layak dihargai karena keberaniannya bertahan, bukan dijatuhkan karena label yang kita ciptakan sendiri. Mari melihat mereka dengan mata kemanusiaan karena ukuran moral bukan pada tempat seseorang bekerja, melainkan pada kejujuran dan ketulusan mereka dalam mencari penghidupan yang layak. (*)







