Oleh : Dahril Fardinan (Mahasiswa Laigoma & Literacy Activist Forum Insan Cendikia Cabang Ternate)
PADA tahun 2006 sampai 2017, Laigoma masih berada dalam fase kenetralan antara pemerintah desa dan masyarakat. Interaksi antar sesama begitu ramah, pemerintah peduli terhadap rakyatnya, dan masyarakat pun menghormati pemimpinnya. Namun, keharmonisan itu tidak bertahan lama ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Arah perubahan yang dijanjikan justru berubah menjadi titik awal hilangnya kepercayaan.
Kini, interaksi antara masyarakat dan pemerintah desa perlahan hilang sedikit demi sedikit. Pemimpin yang dulu diharapkan mampu membawa wajah desa semakin cemerlang, justru menjadikan jabatan sebagai alat mencari uang demi kepentingan pribadi. Laigoma yang dulunya menjadi desa prioritas kini tampak terabaikan, seperti pulau yang tertinggal di tengah laju pembangunan. Tatanan sosial yang dulu ramah berubah menjadi bara api yang berkobar-kobar, menyisakan ketegangan dan ketidakpuasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah desa berdiri seperti patung yang dibuat oleh ayah Nabi Ibrahim AS—ingin dihormati, ingin disembah, tetapi tidak membawa manfaat sedikit pun bagi masyarakatnya. Kepemimpinan semacam ini telah melenceng jauh dari visi dan misi yang manis dibacakan menjelang pilkades. Kata-kata indah itu sekarang terasa hambar, karena kenyataan di belakangnya begitu pahit.
Tanpa disadari, masyarakat Laigoma telah terekspolitasi oleh sistem yang dibangun pemerintah desa itu sendiri. Rakyat dipinggirkan, kebutuhan diabaikan, dan desa kini terbengkalai tanpa perkembangan yang berarti. Padahal Pulau Laigoma hanya terdiri dari dua kelurahan yang jaraknya sekitar 200 meter, tetapi memiliki satu pemimpin. Seorang pemimpin seharusnya mampu melihat kekurangan desa, menerima kritik, dan membuka telinga terhadap masukan rakyat.
Jangan abaikan pendapat masyarakat setempat. Bahkan seorang raja yang memiliki seribu strategi perang pun tetap memiliki penasihat dan jenderal untuk menyampaikan keluhan rakyatnya. Masa seorang kepala desa saja tidak mampu menerima saran. Jangan acuh tak acuh dengan pendapat orang lain, karena belum tentu apa yang kita pikirkan selalu benar.
Fenomena seperti Laigoma sebenarnya bukan kasus tunggal di Maluku Utara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS Maluku Utara, 2024) menunjukkan bahwa 37% desa di Maluku Utara masih berstatus berkembang dan tertinggal, dengan akses infrastruktur dan pelayanan publik yang minim. Sebanyak 42% kepala desa tidak rutin melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa, sehingga aspirasi rakyat tidak pernah benar-benar terangkat. Bahkan Indeks Desa Membangun (IDM) Maluku Utara masih berada pada kategori perkembangan lambat, terutama di wilayah kepulauan seperti Bacan, Kayoa dan termaksud Laigoma.
Ketimpangan pembangunan desa bukan hanya karena faktor geografis, tetapi juga karena kepemimpinan yang tidak responsif. Ketika pemimpin menutup telinga, kebijakan akan buta arah. Ketika pemimpin menutup hati, rakyat akan kehilangan harapan.
Karena itu, Laigoma membutuhkan perubahan. Desa ini membutuhkan pemimpin yang kembali pada amanah, bukan pada ambisi pribadi. Musyawarah desa harus dihidupkan kembali, transparansi anggaran harus dibuka seluas-luasnya, dan masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas pembangunan. Infrastruktur dasar seperti penerangan, air bersih, jalan setapak, dan transportasi antar-desa harus menjadi prioritas. Tanpa ini, Laigoma akan terus berjalan di tempat.
Lebih penting lagi, pemimpin harus merendahkan hati untuk mendengar rakyatnya, sebab pemimpin sejati bukan dia yang merasa paling benar, tetapi dia yang mampu belajar dari kritik dan bekerja dengan amanah. Jika ingin menjadi pemimpin yang gagal, teruslah berjalan dalam kegelapan dan abaikan suara rakyatmu. Tetapi jika ingin menjadi pemimpin yang dikenang, mulailah dari keberanian untuk melihat kesalahan dan memperbaikinya.
Akhirnya, hanya pemimpin yang kembali pada nurani yang mampu mengubah Laigoma. Jika tidak, maka Laigoma akan terus hidup dalam bayangan gelap kepemimpinan baru, dan kelak seperti yang sering diingatkan para tua-tua setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkan amanahnya, bukan hanya di dunia, tetapi juga di alam kubur. Akhir kata, Insan Cendikia. )*







