Oleh : Burhanuddin Djamal – Hamba Tuhan yang Suka Menulis
Guru…pahlawan tanpa tanda jasa…
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alunan itu berkumandang di pagi yang temaram, seperti obor kecil yang berusaha menembus kabut realita. Aku membayangkan guru-guru kita seperti kapal-kapal kecil di lautan pengetahuan—tersenyum, lelah, menahan ombak yang tak terlihat. Setiap langkah di ruang kelas, setiap goresan kapur di papan tulis yang retak, adalah kisah ketekunan yang jarang dilihat, tapi bersinar seperti mercusuar di malam gelap
Hari Guru, setiap 25 November, biasanya penuh bunga, kata manis, dan upacara formal rapi seperti panggung opera mini. Media menampilkan guru seolah hidup di taman indah yang tertata rapi. Namun kenyataannya, banyak guru honorer menyeberangi sungai kecil, menapaki jalan setapak berlumpur, diterpa hujan atau terpanggang panas, hanya untuk berdiri di depan murid yang menunggu cahaya pengetahuan.
Ruang kelas bocor menjadi atap setengah hati, fasilitas minim, buku jarang, listrik dan internet sering padam—mereka memainkan simfoni dengan alat musik patah, dan tetap menari di tengah hujan
Ironi itu mencuat tajam. Kita memberi guru bunga dan sertifikat, sementara mereka menanggung gaji mini, infrastruktur pincang, dan harus mengajar di beberapa sekolah sekaligus. Kata-kata manis enak terdengar di televisi, tapi tak bisa membeli bensin perahu, buku baru, atau menutupi jalan berlumpur yang harus mereka lalui. Distribusi guru timpang membuat daerah terpencil sering kosong tanpa pendidik tetap, sementara pelatihan profesional bagi mereka nyaris menjadi cerita fiksi yang tak pernah tiba
Di kota besar, guru menghadapi tekanan lain. Orang tua menuntut anak selalu juara, administrasi menuntut laporan mingguan, dan siswa kadang lebih piawai bermain ponsel daripada matematika.
Guru pun menjadi pengajar, konselor, motivator, mediator sosial—aktor dalam drama keluarga tanpa bayaran superhero, hanya tepukan simbolik dari dunia luar. Langkah mereka berat, tapi senyum tetap dipaksakan, seolah menyalakan lampu di kelas yang gelap. Seperti digambarkan dalam novel To Sir, With Love karya E.R. Braithwaite, guru bukan hanya mengajarkan angka dan kata, tapi membimbing murid menemukan arah hidupnya sendiri. Tekanan administrasi dan tuntutan orang tua membuat guru di lapangan seakan menari di atas tali, berusaha menyalakan cahaya bagi murid yang haus bimbingan
Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa Paulo Freire yang menyamakan pendidikan dengan jendela cahaya. Namun jendela itu hanya menembus jika tirai ketimpangan dibuka—dan guru honorer di pelosok negeri berdiri di balik tirai yang berat, menyeberangi sungai dan jalan setapak, sambil berjuang menyalakan cahaya bagi murid-muridnya.
John Dewey menyebut pendidikan tarian sosial—tapi bagaimana menari ketika kaki guru berat oleh administrasi, kepala dipenuhi laporan, dan ritme tersendat oleh fasilitas minim. Murid-murid kehilangan irama belajar yang semestinya. Dalam novel Dead Poets Society karya N.H. Kleinbaum, terlihat bahwa guru yang berani menantang norma dapat menyalakan semangat kritis murid, menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar ritual simbolik, tapi perjalanan hidup yang membutuhkan keberanian, perhatian, dan kreativitas guru
Emile Durkheim menegaskan bahwa ritual sosial bisa menciptakan ilusi solidaritas. Hari Guru yang rapi di televisi adalah contohnya. Bunga, sertifikat, tepuk tangan simbolik—indah dilihat, tapi tak mengisi bangku bocor atau menyalakan lampu di ruang kelas gelap.
Guru tetap basah oleh hujan, terpanggang matahari, menahan lelah yang tak terlihat. Simbol penghargaan menutupi jurang nyata, dan negara tersenyum puas melihat perayaan, seolah panggung itu cukup bagi pahlawan di papan tulis
Dalam konteks ini, teori bukan sekadar kata-kata di buku, melainkan cermin yang memantulkan kenyataan. Distribusi guru timpang, pelatihan profesional nyaris tak tersentuh, fasilitas belajar terbelenggu. Pendidikan tidak bisa hidup hanya dengan ritme simbolik. Ia membutuhkan langkah nyata. Guru harus dibebaskan dari beban administratif, didukung dengan fasilitas memadai, dan dihargai secara berkelanjutan, agar cahaya pendidikan benar-benar menembus jendela kehidupan murid-muridnya
Daripada bunga dan sertifikat, yang paling penting adalah memberi guru ruang layak untuk mengajar, fasilitas memadai di pelosok negeri, dan dukungan berkelanjutan bagi karier serta kesejahteraan mereka. Hari Guru harus menjadi refleksi nyata, bukan ritual tahunan yang menutupi kekurangan. Dengan perhatian tulus, guru bisa mengajar dengan semangat, murid belajar layak, dan Mars Guru menjadi lebih dari simbol di layar televisi—menjadi panggilan bagi semua untuk menepati janji kepada pahlawan di papan tulis.
Jika, tidak Paulo Freire, John Dewey, Emile Durkheim, E.R. Braithwaite, dan para guru di Dead Poets Society pasti tersenyum tipis, seakan menertawakan bunga dan sertifikat yang indah tapi tidak menghapus lumpur realita guru di tengah ketimpangan yang nyata. (*)







