Oleh : Iswan Abdullah – Presiden BEM Fakultas Inovasi Pendidikan Unutara
ADA satu musim didunia pendidikan kita yang paling dinanti sya menyebutnya musim syuting akbar. Akhir-akhir ini musim ini sering terjadi sehinga banyak terjadi di dalam kelas diberbagai sekolah di negeri ini, yaitu momen uji kinerja (UKIN) dalam pendidikan profesi guru (PPG). Dimana tiba-tiba pada momen ini kita semua bertransformasi berubah guru superhiro yang di impikan siswa siswi di negeri tercinta ini.
Bayangkan. Ruang kelas yang biasanya hanya diterangi bias materi pagi mendadak berubah jadi studio Holliwood dadakan proyektor LCD yang dihari biasa terkubur dilemari atau ruang kepala sekoalah tiba-tiba menyala di dalam kelas. Media pembelajaran yang biasanya cuman papan tulis penghapus dan spidol kini menjelma menjadi jadi poster warna-warni, sampai maket tiga dimensi yang detailnya bikin kita bertanya, ini bahan bekas dapat dari mana?. Dan yang paling ajaib adalah sosok gurunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Guru yang biasanya masuk kelas dengan stelan semi-santai dan sedikit cuek kini tampil paripurna dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki aura profesional-inovatif menginspirasi itu terpancar kuat. Gestur mengajar penuh dengan energi dan semangat berapi-api, intonasi suara baigaikan penyiar berita handal dan yang paling mencenggangkan siswa-siswi nya tiba-tiba terdiam dan menjadi aktor dan artis cilik yang patuh koperatif dan luar bisa kritis.
Model pembelajaranya pun tak main-main, lupakan metode ceramah 45 menit yang bikin siswa kuyu. Saat UKIN, yang terhidang adalah Problem-Based Learing yang rumit nya setara kasus krimial internasional, atau Project-Based Learing yang hasilnya pasti bisa dipamerkan ke bapak menteri. Semua tampak sempurna terstruktur dan tentu saja sesuai rubrik peneliaian sehinga vidio pemebelajaran yang dihasilkan itu sangat luar bisa dan sangat percaya diri.
Tapi….
Bagitu kamera dimatikan, dosen maupun penguji juga sudah angkat kaki dan sertifikat sudah di depan mata keajaiban yang tadi di puji oleh dosen dan penggujinya kini perlahan sirna. Esoknya guru yang sama dengan aura yang sedikit kempis kembali ke kelas dengan modus yang penting materi terspampaikan,anak-anak jangan ribut. Dan spidol kembali jadi bintang utama dan PBL pun kemabali ke habitat aslinya mengendap ke dalam tulisan-tulisan dalam buku.
Lantas, apakah itu berarti para guru tidak kompoten? Tentu tidak justru kebalikanya fenomena ini mebujtikan bahwa para guru di negeri ini hebat-hebat semuanya. Fenomena ini mebuktikan bahwa seharusnya kita jangan pernah biklang tidak mampu atau tidak punya waktu atau tidak mengerti cara mengajar yang bagus dan keren buktinya. Demi secarik kertas bernama sertifikat pendidik, demi predikat juara lomba apresiasi guru atau demi lolos dari jerata penguji atau doesen pembimbing yang galak kita mampu mengeluarkan daya upaya terbaik yang bahkan kita sendiri tidak tahu tersimpan dimana ia selama ini. Selama peserta PPG dari sabang sampai merauke yang mungkin sehari-hari mengajar dipelosok tampa sinyal terbukti bisa menyajikan vidio pemeblajaran yang sangat menarik efektif dan memenuhi semua standar teoritis pendidikan abad ke-21.
Jadi… masalanya bukan pada kemampuan tapi pada kemauan karena sebuah motivasi dan dorngan. Sederhana saja selama ini barangkali kita hanya tergerak oleh, Ancaman gagal UKIN honor atau tunjangan tertunda imbalan sertifikat TPG atau piala lomba. Atau gengsi sehinga harus tampil prima di depan kamera deson,pengguji dan kolega. Itulah motivasi kita selama ini lantas, bagimana dengan murid kita sehari-hari? Apakah senyum cerah dan pemahaman mendalam mereka yang notabene adalah tujuan utama dari profesi ini, tidak cukup untuk menjadi motivasi bagi kita atau kita menganggapnya tidak setra dengan sertifikat PPG atau sertifikat kejuaran lomba apresiasi guru ?. oh,tidak. Saya tidak sedang mengajak kita menjadi guru yang sempurna yang setiap hari mengajar layaknya sedang ukin itu berat. Dan saya tahu itu, tapi mari kita berhenti sejenak berpura-pura. Kita tahu standar mengejar ala UKIN itu melelahkan dan nyaris mustahil dilakukan setiap hari tapi setidaknya kita bisa mengambil 30% saja dari jiwa raga UKIN itu bukan? Itu sudah cukup luar bisa. Jadi kawan guru mari kita sesekali pengil jiwa yang kita bentuk saat ukin itu untuk digunakan mengajar sehari-hari.
Mari kita buktikan, kita tidak perlu menunggu ada kamera tersembunyi atau ancaman lainya untuk menyalakan kembali api inovasi itu. Karena sesunguhnya pangung sandiwra tebaik kita bukanlah di depan dosen penguji UKIN, melainkan didepan 30 pasang mata polos yang menanti ilmu dari gurunya yang ternayta memang hebat bukan hanya saat akting atau kamera tersembunyi. (*)







