Kartini dari Timur dan Jalan Usaha yang Mandiri

- Penulis Berita

Senin, 21 April 2025 - 01:13 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Ghozal Eldridho
Ketua Umum HIPMI Kota Ternate.

Hari Kartini tidak pernah kehilangan relevansi. Ia hadir bukan sekadar untuk dikenang sebagai simbol emansipasi perempuan, tetapi sebagai pengingat bahwa perjuangan melawan ketertinggalan baik dalam pendidikan, sosial, maupun ekonomi masih terus berlangsung. Di tanah Maluku Utara, yang kata orang Negeri Para raja, para kapita khususnya di Kota Ternate, semangat itu bergema dengan cara yang berbeda. Ia hadir dalam bentuk warung kopi kecil milik anak muda, usaha rumahan yang dijalankan perempuan muda, hingga startup digital yang lahir dari semangat kemandirian. Kartini hidup dalam tubuh-tubuh lelah yang tidak mewarisi kemewahan, tapi mewarisi keberanian untuk bermimpi. Selaras degan narasi itu, melengkapi fakta bahwa anak muda maluku Utara Hidup jang talalu banyak gaya. Tapi karya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jujaru se Ngogare muda toma Ternate hari ini berada di tengah realitas yang kompleks. Di satu sisi, mereka dibesarkan dalam masyarakat yang belum sepenuhnya adil terhadap perempuan. Patriarki masih kuat menancap dalam ruang keluarga, pendidikan, bahkan dunia usaha. Perempuan muda yang memilih jalan usaha sering kali dianggap “tidak wajar,” “terlalu berani,” atau bahkan “tidak tahu diri.” Sementara laki-laki muda, meski dianggap memiliki lebih banyak ruang untuk bergerak, justru terperangkap dalam ekspektasi yang membebani bahwa mereka harus berhasil, harus kuat, harus memimpin. Padahal, kenyataan hidup tidak selalu sejalan dengan itu.

Namun, dari kota ini, kita melihat harapan. Kita melihat Kartini-Kartini muda yang berdiri dengan keberanian, membuka usaha kecil dengan modal pinjaman atau hasil tabungan dari pekerjaan lepas. Mereka menjual makanan dari dapur rumahnya, membuka jasa make up sederhana, membuat baju dengan desain lokal, dan memasarkan produk mereka lewat Instagram dan WhatsApp. Mereka bekerja dengan cara mereka sendiri, sering tanpa dukungan negara, tanpa bantuan pemerintah, dan tanpa jaminan keberhasilan. Tapi di sanalah justru semangat Kartini hidup, pada tekad untuk mandiri dan menolak tunduk pada keterbatasan.

Laki-laki muda juga mulai berubah. Banyak di antara mereka memilih jalan usaha bukan karena warisan, tetapi karena menyadari bahwa pekerjaan formal tak mampu menampung cita-cita dan kebutuhan hidup. Mereka membangun brand lokal, menjual kopi dari petani Halmahera, membuka jasa desain grafis, hingga menjadi reseller produk fashion dari luar daerah. Mereka belajar dari nol, mencoba dan gagal berkali-kali, namun tetap bertahan. Mereka mulai sadar bahwa menjadi lelaki hari ini bukan soal dominasi, tapi kolaborasi. Bahwa keberhasilan usaha bisa lahir dari kerja sama yang setara dengan perempuan entah sebagai pasangan, sahabat, atau rekan usaha.

Dalam konteks ini, Himpunan Pengusaha MudaDofu-dofu Indonesia (HIPMI) hadir bukan hanya sebagai organisasi, tetapi sebagai ruang gagasan. HIPMI
mengusung nilai kemandirian, keberanian, inovasi, dan kolaborasi. Nilai-nilai yang sejalan dengan semangat Kartini.

Kemandirian adalah ketika seorang pemuda Ternate berani membuka usaha sendiri tanpa bergantung pada proyek pemerintah. Keberanian adalah saat seorang perempuan muda membuka toko online meski ditertawakan lingkungan. Inovasi adalah ketika potensi lokal seperti pala, cengkeh, atau rempah dijadikan komoditas bernilai tambah. Dan kolaborasi adalah ketika laki-laki dan perempuan muda duduk bersama, membangun usaha tanpa ego dan tanpa rasa superioritas gender.

Tapi tentu perjuangan ini tidak ringan. Masalah klasik seperti keterbatasan modal, minimnya pelatihan, dan akses pasar masih menjadi hambatan utama. Banyak pengusaha muda, terutama perempuan, tidak bisa mengakses pinjaman bank karena tidak punya jaminan. Padahal semangat dan ide mereka sangat besar. Di sisi lain, dukungan dari pemerintah daerah kadang hadir hanya dalam bentuk seremoni pelatihan satu kali, pameran sesaat, atau bantuan stimulan yang tidak berkelanjutan. Padahal, untuk benar-benar tumbuh, usaha kecil perlu ekosistem jaringan pemasaran, pembinaan berkelanjutan, perlindungan hukum, dan akses informasi yang setara.

Di tengah keterbatasan itu, yang paling menentukan adalah mentalitas. Semangat. Daya juang. Karena menjadi pengusaha muda di Ternate hari ini bukan hanya soal cari untung, tapi juga soal keberanian melawan ketimpangan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap budaya “tunggu proyek,” terhadap warisan feodalisme ekonomi yang masih kuat di daerah. Pengusaha muda hari ini sedang berusaha mematahkan anggapan bahwa masa depan hanya milik mereka yang punya koneksi politik atau keluarga berada.

Dan dalam perjuangan ini, semangat Kartini tak boleh dilupakan. Karena usaha bukan ruang netral. Ia dibentuk oleh struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang sering kali timpang. Maka ketika seorang perempuan muda Ternate memilih jalan usaha, ia sedang melawan banyak hal sekaligus pandangan orang tua, norma masyarakat, minimnya akses modal, dan beban kerja ganda sebagai anak dan pekerja. Ia adalah Kartini versi baru. Ia bukan lagi perempuan yang menulis surat kepada sahabat Belanda, tapi perempuan yang menulis caption produk di Instagram sambil mengurus dapur dan menjaga adik.

Ternate hari ini memiliki potensi besar untuk menjadi kota pengusaha muda. Dengan bonus demografi, akses digital yang makin luas, dan potensi lokal yang melimpah, kota ini bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi kreatif dan UMKM. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita mau berubah. Jika pemerintah mau keluar dari mentalitas seremoni dan mulai membangun kebijakan yang berpihak pada anak muda. Jika komunitas seperti HIPMI bersedia turun ke akar rumput, membina bukan hanya yang sudah sukses, tapi juga yang baru mulai. Dan jika masyarakat mau berhenti menganggap usaha kecil sebagai pilihan “terpaksa,” melainkan sebagai jalan mulia menuju kemandirian.

Hari Kartini adalah momen refleksi. Ia bukan hanya hari perempuan, tapi hari untuk merenungkan ulang bagaimana kita memaknai perjuangan, kesetaraan, dan kemajuan. Di Ternate, kita tidak butuh lebih banyak seremoni. Kita butuh lebih banyak ruang usaha, lebih banyak keberanian memulai, dan lebih banyak Kartini baik perempuan maupun laki-laki yang mau berjuang membangun masa depan dengan tangan mereka sendiri.

Kartini dari Timur bukan sekadar simbol. Ia adalah nyala kecil yang hidup dalam langkah pengusaha muda yang menolak menyerah. Ia adalah suara dalam hati yang berkata kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi.? Salam Hangat dan Takzim dari saya Ghozal Eldridho Ketua Umum HIPMI Kota Ternate. Selamat Memperingati Hari Kartini. Sukur Dofu-dofu.

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Wirausaha sebagai Arah Baru Pendidikan di Maluku Utara: Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Pendidikan Tanpa Arah : Refleksi HIPMI untuk Maluku Utara.
Sejarah dan Makna Perjuangan Buruh
HIPMI Kota Ternate dan Bank Indonesia Perkuat Sinergi Dorong UMKM Naik Kelas
Hari Buruh, Membangun Hubungan Sehat antara Buruh dan Dunia Usaha di Maluku Utara
Nestapa Masyarakat Adat Wayamli: Kegagalan Wakil Rakyat?
JERITAN RAKYAT DIBALIK BONGKAHAN NIKEL
Hijrah yang Tertunda: Catatan untuk Hari Kartini
Berita ini 40 kali dibaca

Berita Terbaru

Daerah

Makian-Kayoa Siap Jadi Daerah Otonomi Baru

Sabtu, 3 Mei 2025 - 06:56 WIT