Ternate, Nalarsatu.com – Kini, warisan semangat perlawanan, pammalawang, pangbakubunuh, pangjaga wilayah hilang ditelan waktu. Gamrange tak lagi berdiri sebagai benteng kehormatan, karena sejarahnya telah diabaikan oleh masyarakat dan pemerintahnya sendiri. Padahal, sejak dahulu, Gamrange tidak pernah ditundukkan. Ia berdiri kokoh di atas nilai, kehormatan, dan prinsip lebih baik mati daripada tunduk pada kekuasaan yang dzalim.
Namun hari ini, saya sebagai putra Halmahera Timur sekaligus Presiden BEM Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara, merasa sangat marah dan terluka setelah membaca Berita tentang Rapat Penyelesaian Permasalahan antara PT STS, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur tertanggal 30 April 2025. Isinya adalah kesepakatan yang tidak memihak pada rakyat. Bahkan lebih jauh lagi, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan martabat masyarakat adat Gamrange.
Yang lebih mengecewakan, Bupati Halmahera Timur, Ubaid Yakub, memilih jalan damai dengan PT STS ketimbang berdiri bersama rakyatnya yang telah lama menjerit karena eksploitasi tanah adat. Ini bukan hanya soal keputusan politik, ini adalah soal harga diri dan harga diri masyarakat adat telah digadaikan oleh pemimpinnya sendiri. Lebih menyakitkan lagi, permintaan maaf yang disampaikan Bupati kepada Kapolda Maluku Utara karena kerusakan kendaraan aparat, justru menunjukkan bahwa pemimpin kita lebih takut pada kekuasaan ketimbang membela rakyatnya sendiri yang menjadi korban kekerasan. Rakyatmu, Pak Bupati, yang ditembak. Bukan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, perjuangan Masyarakat Adat untuk mempertahankan wilayahnya adalah tindakan yang sah secara moral dan juga konstitusional. Negara ini melalui konstitusi dan berbagai peraturan hukum telah mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak atas wilayah kelola mereka.
Konstitusi Republik Indonesia, melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa negara “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Bahkan secara hukum positif, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, melalui Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa “dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat wajib diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.”
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 juga menjadi tonggak penting yang membatalkan anggapan bahwa hutan adat adalah milik negara. Putusan itu menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, dan bukan bagian dari hutan negara.
Dengan semua legitimasi konstitusional ini, perjuangan masyarakat adat Gamrange untuk menolak kehadiran PT STS di wilayahnya adalah sah, benar, dan harus didukung. Maka, segala bentuk kompromi yang merugikan masyarakat adat bukan hanya bentuk pembiaran atas ketidakadilan, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Oleh karena itu, saya menyatakan dengan tegas: kami tidak tunduk pada kekuasaan yang dzalim. Kami tidak akan diam saat tanah adat dirampas atas nama investasi. Kami tidak akan takut sebab keberanian rakyat jauh lebih suci daripada kepentingan politik jangka pendek.
Kami akan terus bersuara dan melawan, sebab tanah adat bukan untuk dijual, apalagi untuk diserahkan kepada perusahaan yang tidak taat pada rakyat, hukum, dan sejarah.
Hidup masyarakat adat!
Hidup rakyat Halmahera Timur!
Tolak PT STS!